21/06/06

INDONESIA-Qoe

Seorang teman saya bertanya: "Mengapa Indonesia bisa jadi 'begini'? Maksudnya? Teman itu menyebutkan betapa permasalahan yang dihadapi bangsa kita begitu kompleks, tidak jelas kapan selesainya dan masalah baru selalu saja muncul setiap hari. Perhatikan masalah sosial, ekonomi, politik , kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang rasanya begitu 'ruwet'. Borok itu hari demi hari keluar satu demi satu. Lalu, bagaimana tidak pesimis, kata teman itu, bahwa negeri ini sesungguhnya memang sudah rusak. Kerusakan yang sempurna, katanya menyitir ucapan seorang tokoh. Sekarang ditambah lagi, Indonesia ternyata termasuk penghasil ektasi terbesar ketiga di dunia. Setelah itu, juga terbongkar penyuapan aparat kepolisian dalam kasus Bank BNI. Pengangguran dan utang luar negeri pun ternyata juga mengerikan. Meskipun semua itu belum selesai, muncul kelaparan di Yahukimo Papua dan teror bom di Palu. "Mengapa bisa begitu?" tanya teman itu. Entahlah, saya tidak tahu persis.Tapi meskipun begitu, sesungguhnya apabila kita teliti permasalahannya, paling tidak ada dua hal yang menjadi sumber timbulnya masalah itu. Pertama, permasalahan yang timbulnya di luar jangkauan kita. Masalah ekonomi misalnya, memiliki keterkaitan dengan berbagai masalah lain yang berada di luar kontrol kita. Masalah ini bahkan terkait dengan dunia luar, dengan prinsip globalisasi dan juga (tentunya) kepentingan negara lain. Kedua, permasalahan yang sesungguhnya kita 'bikin' sendiri. Ada yang terkait kebijakan pemerintah, dan sikap masyarakat kita sendiri yang memang tidak kondusif. Ada pula yang terkait hukum kita yang memang tidak 'berdaya' menyelesaikan masalah itu. Lantas, bagaimana kita dapat keluar dari krisis yang sering dikatakan multidimensi itu? Depresi Jujur saja, gara-gara krisis multidimensi ini, stres dan depresi menggerogoti kita. Di warung, di jalan, di kantor, penyakit apa pun bisa terpicu. Sebab, begitu mata melek dan otak melahap koran pagi, hati geregetan oleh berita 'klasik' korupsi. Sepertinya aturan dibuat untuk diakali. Dana Abadi Umat dibikin bancakan, diutak-atik secara 'kreatif'. Semua itu mengingatkan saya pada sebuah lelucon yang dibuat mahasiswa UI di akhir 1970-an. Dikatakan, seorang bayi lahir. Ia normal dan tampaknya terlalu cerdas. Begitu merasakan sentuhan udara luar, ia menengok ke kiri dan ke kanan. Kemudian menjerit keras dan langsung mati, karena ia sadar telah lahir di Indonesia: sebuah negeri di mana berbagai gejala ketimpangan sosial dan ketidakadilan merajalela. Inikah negeriku? Coba sekarang lihat sekeliling kita. Tiap ada pimpinan baru, misalnya, semua pada sibuk nguping kiri-kanan mencari objekan. Repotnya, kalau ketemu pejabat bertipe DKI alias Di Bawah Ketiak Istri. Ditanggung banyak bawahan mengalami stres berat. Maklum, macan betina itu lebih ngebos ketimbang bos sesungguhnya. Perilakunya tengil. Walau ia tidak memiliki meja kursi, merasa lebih memahami situasi kantor. Kemudian, lantaran sangat membanggakan pangkat dan jabatan suami, ia memunculkan pribadi yang sewenang-wenang tak kenal kompromi. Lebih celaka lagi, mempan disindir. Benar-benar berkulit tebal. Berita busung lapar di daerah, umpamanya, tak lagi menggiriskan. Hidupnya jauh dari kesederhanaan. Hobinya jalan-jalan ke luar negeri. Jika berbelanja di mal, misalnya, anak buah suami yang 'berladang basah' jadi pendamping. "Parfum itu wanginya, aduh ...," katanya main tunjuk agar segera dibayari. Hobi lain adalah rajin mengamati iklan. Begitu muncul barang baru, anak buah suami dikontak. "Coba dicek, Nokia keluarkan HP baru. Anak saya ingin ganti HP," katanya. Tahu kan maksudnya? Itu identik dengan 'buruan beliin gue'. Bahasa mencerminkan bangsa! Saking jengkelnya oleh situasi di negeri ini, seorang aparat protes kepada saya: "Kalau mau masuk surga, jangan jadi aparat!" Di satu sisi ia ingin tawadlu, mendekatkan diri kepada Allah. Di sisi lain, wajib mengumpulkan dana untuk si bos. Ia seperti sendirian di padang pasir dan jeritannya lenyap ditelan gurun. Inikah Indonesiaku? Duh ...! Rasanya tiada lagi elit panutan. Situasinya mengarahkan orang untuk sepakat, uang adalah segalanya. Duit bisa menguasai siapa pun. Buntutnya dapat ditebak: Yang atas ngerampok, kelas menengahnya jadi maling, di bawahnya nyopet, dan paling rendah hanya bisa mulung, mengambil barang kantor satu atau dua biji. Apa tidak edan, man! Mestinya sejak awal harus ada kesepakatan di antara kita, untuk setidaknya tidak memperbesar permasalahan yang ada. Jangan sampai ada kesan, sementara kita belum mampu menyelesaikan satu masalah, masalah lain muncul dari kita sendiri. Psikosomatik Begitulah. Ironis memang. Di negeri ini korupsi merajalela (istilah KPK: Darurat Korupsi). Depresi pun siap menerkam. Penyakit itu bisa mengarah lebih gawat: psikosomatik. Psyche berarti jiwa dan soma berarti tubuh. Tapi tidak usah minder. Berdasarkan survai World Federation for Mental Health akhir Mei lalu, di dunia terdapat 340 juta penderita depresi. Di Indonesia apalagi. Maksud saya, pasti tidak terekam angkanya. Entah berapa juta yang depresi. Saya juga tidak tahu persis. Tapi yang pasti, biasanya penderita depresi merasa cemas berlebihan. Rasa curiga juga meningkat. Muncul 'perlawanan' yang mengakibatkan tubuh tidak nyaman. Beragam keluhan seperti menggerogoti tubuh. Misalnya gangguan pencernaan, keluar keringat dingin, rasa pegal dan sakit kepala. Orang depresi cenderung sensitif, dan tak sudi disebut sakit. Kendati diberi masukan bahwa pandangan Anda bisa mengubah dan mempengaruhi langkah Anda, tidak serta merta bersedia menerima. Dijelaskan, cara pandang itu memberi pilihan dunia yang terang atau buram. Kacamata sendiri tetap dinilai paling jempol. Padahal, memandang sebuah soal secara polos dan sederhana bisa memberi pencerahan baru. Begitu Anda mengubah cara pandang itu, maka akan menemukan dunia yang benar-benar gres. Anda seperti terlahir kembali, tanpa diberati segudang kecemasan. Persis waktu bocah menyikapi makanan. Apa saja masuk perut, tinggal leb! Lebih dari itu, umumnya orang depresi punya segudang keluhan yang diciptakan sendiri. Diri merasa terbuang atau tercampakan. Lingkungan yang kurang memperhatikan juga memperparah keadaan. Apalagi, pundak tak pernah ditepuk-tepuk atasan lagi. Betul-betul seperti rongsokan yang siap diloakan. Padahal , sesungguhnya kepahitan hidup --termasuk penyakit-- itu bisa disikapi dengan meletakkan pada proporsinya. "Kembalikan penyakit itu pada Yang Membuat. Serahkan sepenuh hati, seperti orang saat sujud shalat," ujar seorang kawan. Lapangkan dadamu, luaskan hatimu untuk menampung tiap kepahitan hidup. Enjoy aja! Pendek kata, anggaplah dunia ini panggung teater. Masing-masing orang sudah punya peran. Ada yang jadi bos, ada yang ngebosi, ada pula yang cuma jadi pelayan. Orang bijak mengatakan: "Sungguh, siapa saja yang duduk dalam struktur pemerintahan negeri ini adalah Bejo, Untung atau Hoki. Mereka adalah orang yang mendapatkan keuntungan meskipun tanpa bekerja. Benar, salah satu pemeo membuat rumus di negeri ini orang bodoh kalah oleh orang pandai, orang pandai kalah oleh orang berkuasa, orang berkuasa kalah oleh orang kaya, orang kaya kalah oleh orang bejo." Menariknya, Pemerintah Indonesia tidak terlibat dalam konstelasi pemeo itu. Sebab, mereka sekaligus pandai, berkuasa, kaya dan bejo

17/06/06

"filsafat"

"Filsafat adalah upaya manusia dan keseluruhan lingkungan untuk memperoleh jawaban-jawaban dengan metode radikal, integrital, kritis, reflektif, dan sistematis"

Sebelumnya saya pribadi meminta maaf apabila dalam tulisan-tulisan ini terdapat kesalahan dan kekurangan semua tulisan ini bersumber dari kajian-kajian persemayamanku dan referensi buku-buku yang telah ada serta saya pribadi kebetulan tidak mendalami ilmu ini; karena dengan cinta maka saya memberanikan diri menulis konsep ini. Sejatinya tidak ada kebenaran yang bersifat mutlak; kebenaran yang mutlak adalah kebenaran yang ada pada si"doi" diatas sana. Mungkin dia lagi baca buku atau lagi tidur di kursi kerajaannya.

Memang, sebuah kata berlebel filsafat adalah sesuatu yang unik. Filsafat sangat berjasa dalam menjawab berbagai pertanyaan serta mengasah daya kritis seseorang. Dari sejarah kita dapat membaca kontribusi para filusuf-filusuf seperti Plato, Aristoteles, Karl Marx, Rene Descartes, Thomas Aquinas, Imanuelt Khan, Hagel, Ibnu Rush, Ali Syariati, Ibnu Sina, dan sebagainya dan sebagainya, bahkan ilmu pengetahuan dan teknologi modern membawa pengaruh begitu besar dari filsafat sehingga turut menyumbangkan banyak manfaat untuk perkembangan dunia.

Namun di salah satu pihak, seperti orang tua saya. Filsafat dianggap sebagai racun yang bisa menyesatkan, bisa membuat orang gila bahkan memurtadkan agama seseorang dan selama ini saya membantah hal itu entah karena subyektifitas yang ada pada diriku. Ku menyebutnya"sabda dari persemayamanku" karena letaknya berada dalam area pandangan dunia, maka filsafat rawan dengan perang pemikiran. Tak kurang seseorang dari Al Ghazali sempat berseteru dengan Ibnu Sina dan berakhir degan kesimpulan mengharamkan filsafat. Baru kemudian datang Ibnu Rushd dengan mencairkan kebekuan dalam bukunya "kesesatan dalam kesesatan"

Sumber utama "perkelahian" itu adalah sumber yang berlainan. Satu berdasarkan pada Al-Quran dan Hadist dalam konteksnya (konseptualis) dan lainnya berdasarkan menyandarkan pada akal manusia.

Sebenarnya dari berbagai mahzab yang dipakai hingga kini adalah perpaduan antara tindakan dan mendorong penalaran semua wujud yang tampak dari penalaran rasionalitas, rasio dan syariat akan bertemu pada satu titik tanpa adanya konflik, bahkan saling mendukung dan menempatkan posisinya masing-masing dan saling mencintai.

Filsafat adalah "sejenis makanan" yang sangat dekat dengan keseharian kita. Setiap orang pasti sering bertanya dan bertanya tentang sesuatu. Pertanyaan seperti mengapa aku ada? Siapa Aku? Apa itu kebenaran? Apakah Ada Tuhan? Terkadang muncul diluar ketidakberdayaan kita di area pemikiran. Ketika kita terus bertanya dan bertanya maka secara tidak langsung kita telah berfilsafat. Karena azasinya manusia selalu menghadapi permasalahan dan berusaha mengatasinya dengan pemikiran. Dan terkadang manusia selalu mengsekte-sekte apakah itu benar salahnya. baik dan buruk, dan sebagainya.

Dengan sebuah filsafat setidaknya kita dapat memecahkan suatu masalah dan menambah daya kritis kita dalam menyikapi persoalan hidup. Lebih dari itu kita dapat mendalami kajian-kajian spiritual kita dalam menyikapi tentang adanya tuhan. Mengetahui pemikiran-pemikiran manusia barat seperti Karl Marx dan keloninya, menyelami pemikiran filusuf islam seperti Ali Syariati dan lainnya.

"ergitto ora de sum"

VIQAROLOGI "sebagian potret mahasiswa"

Di Kampus menunjukkan dikotomi yang tegas antara mahasiswa yang cerdas dan anak gaul. Keduanya seakan seperti minyak dan air, tidak bisa disatukan Citra remaja yang cerdas digambarkan kuper (kurang pergaulan), berkacamata tebal, kutu buku, sulit bergaul dan berdandan seperti orang kuno, dan terkucil dari trand anak muda. Pekerjaannya hanya kuliah dan kuliah. Belajar dan belajar. seakan dia hidup dilingkungannya sendiri, selalu menyendiri, serius dan jauh dari kesenangan tapi entah untuk urusan wanita. Jaringannya hanya kampus-perpustakaan-kamar-kaktus.
Sedangkan kelompok lainnya adalah favorit dan trandsetter bagi yang lainnya. Dunianya hanya dipenuhi hedonitas, hura-hura, mencari kesenangan belaka. Ada image yang tidak mengkuti gaya mereka sekarang ketinggalan jaman dan norak. Mungkin kelompok ini tidak tahu tujuan mengapa mereka melanjutkan kuliah, kecuali karena "memang sudah semestinya kuliah","buat nyari kerja" atau "buat gaul".
Maka terjadilah pengotak-ngotakan di kampus. Anak babe, Anak Mushala, Anak gaul, kutu buku, anak rohis, aktivis kampus dan sebagainya- dan sebagainya. Anak Senat menjadi ajang "pertempuran idiologis" mereka masing-masing. Kelompok pertama menuduh anak gaul tidak bermoral, bodoh, suka menghabiskan uang orang tua, kerjaannya cuma nongkrong dan tidak punya tujuan mulia. Kelompok kedua menuduh si kutu buku sebagai orang yang tidak bisa bersosialisasi, egois, berinteraksi dengan sebayanya.
Mungkin dikotomi ini terkesan ekstrim dan ada simplifikasi bila melihat dari kacamata massa kini. Tapi, pernah ada masa seperti itu dan sisanya masih ada sekarang.
Tentu saja ada kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Si kutu buku lebih pintar dalam konsepnya dan ada kecendrungan mempunyai "moral" yang baik. Doi juga penurut dan baik hati. Tetapi umunya mereka hanya pintar secara akademis, kurang pintar dalam memanfaatkan kepintaran dan memanfaatkan kepintarannya itu untuk orang lain. Buat apa ilmu kalau tidak dipergunakan untuk banyak orang dan mempunyai sosial skil yang rendah.
Sedangkan si anak gaul memang disukai oleh banyak orang. Umumnya humoris dan supel. Ngobrol dengan dia seakan tidak ada habisnya dan mengalir seperti air terus menerus. Tetapi cenderung citra negatif melekat pada dirinya ketika dalam wilayah kenakalan, pembangkan, pemalas, bodoh, manja, suka berpesta-fora. Kebanyajan rentan terhadap kenakalan tindak kriminal seperti narkoba dan seks bebas.
Dilapangan kedua sikap ini bisa berbaur dalam sebuah wadah yang namanya organisasi kemahasiswaan. Misalnya Himpunana Mahasiswa Jurusan, Senat Mahasiswa, Badan Eksekutif Mahasiswa, Unit Kegiatan Mahasiswa dan sebagainya. Ternyata menurut hemat saya, kita bisa cerdas secara akademis juga cerdas dalam pergaulan karena tidak bisa dipungkiri bahwa ketika kita terlibat dan menyatu pada sebuah organisasi maka dengan sendirinya akan melekat rasa solidaritas sesamanya sehingga terbentuklah pergaulan yang baik.
Memilih salah satu kelompok rasanya kurang bijak karena keduanya ada dititik ekstrim. Ada baiknya keseimbangan keduanya diperhatikan.
Ada kisah menarik tentang seorang lulusan perguruan tinggi yang mencari pekerjaan. Orang yang hedonist dan hanya dalam basis anak gaul, biasanya susah mencari pekerjaan kalaupun ada paling didalamnya ada unsur koneksitas. Sedangkan si kutu buku biasanya gampang mencari pekerjaan karena orientasi bursa kerja adalah cerdas akademis yang diwakili oleh Indeks Prestasi (IP).
Tetapi dalam sintesa keduanya bisa kalah oleh anak gaul yang cerdas dan setidaknya mengikuti kegiatan-kegiatan organisasi kemahasiswaan. Karena biasanya, aktivis mempunyai keahliah khusus yang tidak didapat dalam bangku kuliah ataupun konsep si kutu buku. Orang menjadi cerdas, kadangkala karena hidden curriculum (Kurikulum tersembunyi) yang ada dalam berbagai diskusi dan obrolan hangat sesamanya. Apalagi kalau ia mendalami salah satu atau banyak keahlian misalnya jurnalistik dan mendapat banyak kenalan dan koneksi orang sukses.
Satu lagi yang perlu ditekankan. Adalah sangat wajar ketika kita menjadi nakal. Nakal kultural, nakal sosial, dan nakal intelektual. Dan, adalah wajar ketika kita menjadi orang yang radikal, emoosional, idealis,dan pemberontak. Justru karena sifat seperi itulah, gerakan mahasiswa dipandang secara terhormat sebagai salah satu agent of control, agent social. Mengutip Nurcholis Madjid (Cak Nur) "Wajar mahasiswa menjadi "kiri" dan wajar setelah lulus dan mapan, mereka menjadi "kanan". Kalau dari mahasiswa saja sudah menjadi pro status quo, bagaimana kalau sudah lulus dan mapan?"