13/11/07

Dua Sisi

Seorang wanita muda berparas cantik berkulit halus bagai sutera dengan sapuan pewarna bibir buatan luar negeri kayaknya tak berhenti menatap bocah pengamen jalanan. Dari atas sedan mewah merek terkenal full AC milik sang ayah berhenti dilampu merah persimpangan jalan kota ini. Ia terdiam melihat seorang bocah kecil menyanyi sejadi-jadinya dibawah sinar matahari yang siang itu makin terik. Hanya kedipan mata bulatnya yang redup berkedip silih berganti. Kedua tangannya masih menyentuh setir mobil tanpa sedikitpun bermaksud menyentuh kantong celana jeans merek levis.
Entah apa yang dipikirkan oleh anak pengusaha atau pejabat itu. Mungkin ia merasa beruntung memiliki harkat, martabat dan embel-embel lain yang melekat pada dirinya semenjak dilahirkan di muka bumi ini, karena sedari kecil masa depannya telah ditentukan sedemikian sempurna tanpa ada waktu sekejab untuk memikirkan bagaimana mencari nafkah seperti sang bocah. Saat mulai dalam kandungan orang tuanya telah menyediakan kamar indah penuh dengan beraneka asesories bayi. Mulai saat ia akan bersekolah dasar sampai menamatkan pendidikan tingginya di universitas ternama didunia oleh sang ayah. Kesemuanya telah diatur sehingga tak ada lagi berpanas ria atau memperebutkan oksigen dalam antrian lowongan pekerjaan. Semuanya telah sempurna secara materi.
Namun ia bisa juga tak bahagia. Kadangkala merasa kalah dengan seorang bocah yang dengan gigihnya mencari nafkah. Yang bebas menentukan teman tanpa harus memikirkan social costnya.
Banyak belas kasihan ataupun rasa jijik yang tertuang melalui tatapan-tatapan yang sempat singgah dipersimpangan jalan itu. Tapi bocah kecil yang tidak beralaskan kaki dengan kuku jari yang hitam dan kotor tanpaknya tidak peduli dengan tatapan tersebut. Hingga tak sempat ia pikirkan apakah tatapan tersebut tadi tatapan jijik, jijik atau kasihan. Yang ia tahu adalah bagaimana bisa makan untuk hari ini.
Ia juga tak punya waktu untuk mencari jalan keluar dari kemiskinan structural yang menjebaknya hari ini. Memikirkan nasib yang lahir dari seorang ibu pemulung dan ayah yang berprofesi sebagai tukang becak. Memikirkan rumahnya yang tertempel dinding kardus yang mungkin pada saatnya nanti tergilas oleh mobil-mobil dari Dinas Kebersihan dan Keindahan Kota. Dibenaknya adalah sepanjang hari hanya untuk mencari rupiah demi rupiah.
Namun seorang bocah bukan berarti tidak punya keinginan besar. Keinginan untuk memiliki baju bagus tanpa tampalan dan bau karena telah berkali-kali dipakai. Atau bahkan punya mobil mewah mengkilap yang tiap harinya hanya bisa disentuh. Mempunyai uang banyak sehingga bisa membeli kue yang setiap harinya hanya dipandang dari etalase took diseberang jalan. Namun sekali lagi, ini hanya impian besar sang bocah.
Kisah si kaya dan si miskin tentunya telah lama menjadi pembagian universal dari kehidupan umat manusia soal materi. Bahkan seorang filusuf pernah menandakan dunia dengan dua sisi mata uang. Katanya jika tak ada perang maka tak ada kedamaian, jika tak ada kelaparan maka manusia takan mengenal kenyang. Kira-kira seperti itu yang diungkap sang filosof tersebut. (maaf untuk nama sang filsof ada yang ingat nda?)
Kita pun tak bisa memilih ketika dilahirkan apakah ingin masuk kedalam golongan borjuis ataupun gembel. Toch kita hanya menerima nasib tersebut. Kita hanya meneruskan.Setiap pertama kali lahir telah terdengar suara adzan yang berkumandang ditelinga imut kita ataupun air suci pembabtisan memasuh ubun-ubun kepala. Semuanya telah ditentukan oleh kehidupan sebelumnya dan semuanya tersisa untuk dijalani.
Namun kita tidak ingin hidup terus menerus dalam pandangan determinisme segala sesuatu telah ditetapkan sebelumnya- stgnan - hidup dalam impian tanpa ada kehendak bebas. Yang kita butuhkan adalah revolusi diri untuk mengubah pendeknya hidup yang dibatasi lahir dan mati ini. Ayo kita semua berusaha untuk lepas dari kemiskinan ini….!!!