23/12/11

Monyet Togean (Macaca Togeanus) : Endemik di Kawasan Taman Nasional Kepulauan Togean yang terancam punah



Indonesia termasuk salah satu negara “Mega Biodeversity” karena memiliki jumlah species yang sangat tinggi di Dunia. Bahkan Indonesia telah mengeluarkan sebuah dokumen Indonesia Biodiversity and Action Plan (IBSAP) yang disusun oleh proses kolaboratif yang cukup lama karena diperlukan pemahaman yang menyeluruh tentang keanekaragaman yang dimiliki. Salah satu keanekaragaman hayati yang dimiliki oleh Indonesia adalah Monyet Togean (Macaca Togeanus) yang hanya terdapat di Pulau Malenge Kecamatan Walea Kepulauan Kabupaten Tojo Una-una Provinsi Sulawesi Tengah yang berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 418/Menhut-II/2004 merupakan kawasan Taman Nasional Kepulauan Togean.

Macaca togeanus atau dalam bahasa lokalnya monyet togean atau monyet fonti merupakan sub spesies dari monyet bonti yang di penyebarannya hanya ditemui di Pulau Malenge secara administratif masuk dalam wilayah Kecamatan Walea Kepulauan Kabupaten Tojo Una-una dengan luas wilayah 12,21 KM2 yang merupakan satu gugusan pulau yang terletak disebelah utara Kawasan Taman Nasional Kepulauan Togean. 

Morfologis Macaca Togeanus
Ciri morfologis monyet togean yaitu bagian kaki dan tangannya berwarna putih, kepala berjambul, pada pipi muka ditumbuhi rambut, warna kulit hitam, rambut yang tumbuh disisi muka berwarna kecokelatan, rambut dibawah leher berwarna abu-abu terang hingga keputihan dengan panjang tubuh antara 502 – 584 mm, panjang ekor 40 – 50 mm serta berat tubuh jantan dan betina hampir sama 10 – 12 Kg. 

Monyet Togean dapat dikenali dari suaranya pada saat menjelajah, individu jantan seringkali mengeluarkan suara lemah dan bergetar (pi…pi…pi…) dan terulang-ulang, bila merasa terancam suara yang dikeluarkan akan lebih keras. 

Hutan yang merupakan habitat alami satwa ini telah mengalami degradasi. Selain karena alih fungsi hutan menjadi areal pertanian penduduk, penebangan liar yang terus marak juga diakibatkan oleh kebakaran besar yang terjadi pada tahun 1998 yang menghabiskan sekitar 50% hutan primer yang merupakan habitat alami monyet togean. Suksesi tegakan setelah 13 tahun hanya menyisakan belukar. Pohon yang merupakan pakan monyet togean seperti Ficus, Eugenia, Pangium edule, Manilkara kauki, Mangifera foetida banyak yang musnah. 

Perubahan habitat yang terjadi juga mempengaruhi pola konsumsi monyet togean dari yang semula hanya mengkonsumsi bunga, buah dan daun di hutan menjadi hama bagi petani kelapa di pulau Malenge karena satwa ini terkadang mengkonsumsi buah kelapa utamanya buah kelapa yang masih muda sehingga masyarakat memburu secara liar. Perburuan dilakukan dengan mengunakan jerat dan racun. Ketika masyarakat memburunya menggunakan racun, tidak lagi efektif karena satwa ini telah resiten dengan racun dalam hubungannya dengan kebiasaan monyet togean sering mengkonsumsi air kelapa sehingga tubuhnya kebal terhadap racun. 

Perkebunan kelapa merupakan habitat ideal bagi monyet Togean, apalagi dengan struktur tajuk yang saling bersentuhan sangat memudahkan monyet Togean untuk melakukan aktivitas pencarian pakannya, dengan habitat alami hutan primer dan sekunder di pulau Malenge yang telah rusak maka tak ada pilihan lain bagi satwa untuk mempertahankan hidup kecuali masuk ke perkebunan milik penduduk. 

Kini monyet togean (macaca togeanus) yang endemik di dunia tersebut dapat dihitung jari keberadaan dihabitat aslinya pulau Malengge, program-program konservasi yang telah dilakukan oleh pihak Taman Nasional Kepulauan Togean misalnya pengawasan dan perlindungan populasi satwa, inventarisasi pakan monyet togean, dan sosialisasi kemasyarakat disekitar habitat aslinya tersebut telah dilakukan. Lagi lagi hal ini tidak akan berpengaruh secara signifikan ketika kesadaran masyarakat itu sendiri yang harus ditingkatkan.




*Tulisan ini telah terpublikasikan*

15/12/11

Barbagi cerita "babom" ikan

Pagi itu sesuai jadwal kapal kami berangkat menggunakan kapal ferry dari Ampana Ibukota Kabupaten Tojo Una-Una Kantor Balai Taman Nasional Kepulauan Togean menuju Wakai untuk melaksanakan Kegiatan Patroli Perairan Kawasan Konservasi sesuai dengan Surat Perintah Tugas (SPT). Dalam tulisan ini saya tidak menjelaskan secara detail tentang pelaksanaan kegiatan, tetapi diskusi dan pengamatan saya terhadap tindakan beberapa orang yang melaksanakan aktivitas menangkap ikan dengan cara menggunakan bom hingga merusak terumbu karang dan ekosistem lainnya dibawah laut. 

Sepanjang jalan dari Pelabuhan Ferry Uebone Menuju Kantor Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I Wakai tak henti-hentinya mengucapkan kebesaran “sang pelukis” alam ini. Sungguh sangat fantastik dan luar biasa. Panorama indah ditengah lautan terdapat ikan lumba-lumba yang berlomba-lomba menghampiri kapal kami, seakan mereka sebagai pengawal saat itu. Melalui pengamatan saya setiap pelaksanaan kegiatan, ketika menyeberangi Teluk Tomini diperairan rawan gelombang tinggi selalu saja si lumba-lumba itu mengawal setiap gerakan entah kapal kecil (katinting) ataupun kapal sebesar ferry. Seperti diperintahkan oleh atasanNya secara rutin. Selain fenomena lumba-lumba tersebut sekitar lamanya 3 jam berlayar kami disuguhkan oleh fenomena alam yaitu pulau-pulau kecil seperti batu yang berdiri kokoh sendiri ditengah lautan belum lagi keindahan mangrove dan birunya laut Teluk Tomini ketika menghampiri pulau Batudaka.

Hiruk Pikuk Pelabuhan Ferry Wakai
Pulau Batudaka merupakan pulau terbesar di Kepulauan Togean beribukota di Wakai sebagai pusat kegiatan masyarakat masuk dalam Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I. Sesampai di Wakai dalam jarak tempuh 4 jam sampailah kami di Pelabuhan Ferry Wakai. Berselang sejam kemudian kapal tersebut meninggalkan Wakai menuju Pelabuhan Gorontalo. Riuh pikuk suasana bongkar muat penumpang dan barang menjadi aktivitas rutin dipelabuhan tersebut setiap kali kapal-kapal berlabuh menambah kesan mendalam kepada kami tentang masyarakat kepulauan. Selanjutnya tim kami bergerak menuju Kantor SPTN Wilayah I yang hanya beberapa meter dari pelabuhan ferry untuk melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah maupun kepolisian setempat. Karena sudah menghampiri malam dan kondisi angin barat dilautan yang selalu menjadi ancaman bagi pelaut, tim memutuskan untuk menginap semalaman dikantor SPTN Wilayah I. Kantor itu ternyata berada diketinggian dari perumahan penduduk sekitar sehingga dengan leluasa kami menikmati matahari tenggelam (sunset) dan aktivitas masyarakat. Ada yang baru saja datang melaut (bahasa lokal : mangael) ditandai adanya dayung dan mesin katinting dipikul dipundaknya serta beberapa orang yang hendak ke mesjid untuk melaksanakan shalat magrib berjamaah serta anak-anak yang berlarian kedalam rumah masing-masing setelah bermain petak umpat. Sungguh pencerminan kehidupan masyarakat yang jauh dari hiruk pikuk deru mesin seperti kota besar.

KEESOKAN HARINYA – Menggunakan perahu mesin tempel merek yamaha model 40 pk milik Balai Taman Nasional Kepulauan Togean yang dioperasikan di SPTN I Wakai kami melintasi pinggiran pulau Togean menuju Desa Kabalutan yang berada di Wilayah Administrasi Kecamatan Walea Kepulauan SPTN Wilayah III Popolii. Desa Kabalutan ini unik. Penduduk di gugusan Kepulauan Togean mengenalnya dengan nama pulau janda. Dijuluki pulau janda, disebabkan sebagian besar masyarakatnya berstatus janda. Menurut Sofyan Kepala Desa Kabalutan, Hingga Oktober 2011 tercatat sebanyak 422 orang dari 733 Kepala Keluarga yang bermukim didesa itu adalah Janda. Janda-janda tersebut ditinggalkan oleh suaminya dengan alasan melaut atau berdagang ke tempat lainnya seperti Ampana, Luwuk, Gorontalo, atau Pulau Kalimantan. Menurut tradisi setempat seorang perempuan tidak bisa meninggalkan pulau itu dalam keadaan bagaimanapun. Ada yang menarik ketika kami diskusikan dengan beberapa tokoh masyarakat setempat. Dalam hukum desa, ketika sepasang berlainan jenis diatas jam 10 malam atau ketika lampu desa dimatikan masih duduk berduaan di desa itu akan ditangkap oleh hansip desa untuk dinikahkan. Untuk menikah di desa ini lumayan cepat dan praktis tanpa harus menggeluarkan dana ekstra seperti umumnya budaya nikahan yang ada di Sulawesi. Prosesi dan acara biaya nikah cukup menggeluarkan nominal puluhan ribu rupiah didepan penghulu hingga seseorang resmi berstatus suami-istri atau dengan sangsi lain jika tak mempunyai nominal uang, yaitu menyelam mengambil batu karang di dasar laut untuk dijadikan bahan baku sarana prasarana umum di desa. Terbesit dalam pikiran saya saat itu bukannya aktivitas tersebut tidak mengindahkan aspek konservasi dengan cara mengambil terumbu karang yang ada didasar laut? 

Di Desa Kabalutan tersebut tinggalah salah seorang “jenderal bom”. Adalah Usman Jumaih, pria berbadan kurus berkulit hitam dengan kumis tipis tersebut kelahiran Luwuk berusia 52 Tahun menuntutnya untuk mendapatkan gelar itu. Dan beruntunglah kami yang dapat bertukar informasi dengan sang jenderal bom yang insaf itu. “Semua orang tahu kalo kita (red : saya) adalah jenderal bom yang insaf” katanya lengkap dengan dialeg khasnya. “bahkan kita pernah maso (red : masuk) di majalah dan koran-koran” lanjut katanya sembari mengeluarkan majalah dan koran lokal yang memuat profil dirinya. Gelar “jenderal bom” secara berseloroh dilekatkan pada dirinya. Saya akui setiap melakukan kegiatan perlindungan dan pegamanan kawasan, ketika melakukan tindakan persuasif kemasyarakat dengan menggali data dan informasi umumnya masyarakat masyarakat di gugusan pulau-pulau Togean bahkan di Ampana menjulukinya sebagai jenderal bom besar dari Kabalutan. Kisahnya dua puluh lima tahunan yang lalu ketika awalnya datang di Desa Kabalutan, Usman sapaan akrabnya mulai menggunakan cara pintas untuk mendapatkan ikan melalui babom

Babom adalah istilah yang digunakan masyarakat Kepulauan Togean untuk menangkap ikan dengan menggunakan bahan peledak. Menurutnya babom itu bisa menghasilkan ikan sampai sepuluh kali lipat dari cara konfensional. Semula Usman hanyalah seorang nelayan biasa, sekitar tahun 1980an hasil tangkapannya bagus tetapi sekitar tahun 1990an merosot tajam kenangnya “terpaksa kita babom daripada lama-lama tinggal kita lempar bom saja itu ikan-ikan, tapi saya sekarang benar-benar sadar bahwa itu salah besar, kalau sekarang saja susah mendapatkan ikan, bagaimana anak cucu saya nanti? Mereka mungkin tidak lagi makan ikan klo rumahnya ikan kita bongkar!” tutur Usman siang yang terik itu menambah suasana pengap dirumah papan beratapkan seng karena dipenuhi Tim Patroli Perairan Konservasi saat itu. Dari situlah karena rutinitasnya menjadi pembom ikan dan menularkannya pada nelayan lain sehingga disebut jenderal bom. 

Sang jenderal bom itu berbagi kisah dengan kami tim patroli perairan tentang teknik babom. Ada dua jenis bom yaitu dengan bom yang langsung dilempar ke laut atau dengan menggunakan detonator (pemicu ledakan). Bom yang langsung dilempar ke laut biasanya mempunyai resiko yang besar karena ketika arus laut nelayan tidak dapat menghindari atau bahkan terkena dampak dari bom itu, sedangkan dengan menggunakan detonator dapat meminimalisir resiko yang ada. Bom tersebut di berbahan baku utama adalah pupuk tanaman cap matahari atau obor yang didapatkan secara terselubung melalui jalur Bunta, Palu atau Gorontalo. Bahan lainnya adalah korek api kayu dan botol kaca bekas kemasan minuman. Setiap nelayan babom bisa menghasilkan 20 botol bom sekali buat dengan biaya kurang lebih Rp. 250.000,- dalam satu kilo gram pupuk tanaman cap matahari atau obor dengan penghasilan sekali babom dapat mencapai kurang lebih Rp. 150.000,- dalam satu botolnya. 

Nelayan babom umumnya di laut jauh dari pemukiman dilakukan pada malam dini hari dengan konsidi mempunyai terumbu karang kedalaman kurang lebih 1 setengah meter sehingga efek ledakan bisa mematikan gerombolan ikan-ikan dan tidak diketahui oleh orang sekitar. Berdasarkan data dilapangan melalui deskripsi dan diskusi sang jenderal bom dan beberapa nelayan lainnya, kami menyimpulkan bahwa terumbu karang yang menjadi sasaran adalah dari jenis Acroporidae. Karang ini umumnya hidup diperairan dangkal, dilindungi, mempunyai bentuk seperti tanduk rusa dan kumpulannya terkadang berbentuk meja yang ideal bagi tempat hidup dan bersembunyi gerombolan ikan. Dengan adanya aktivitas babom ini dapat menyebabkan kerusakan fatal beberapa radius kilometer pada terumbu karang karena mempunyai daya ledak yang lumayan tinggi hingga dapat menganggu ekosistem dibawah laut seperti karang hancur, terburai dan mati serta dengan begitu ikan-ikan makin sulit ditemukan. 

Sebenarnya kalau diamati secara mendalam, tindakan babom ini menghasilkan ikan-ikan dengan kondisi daging yang lembek. Dipasar-pasar tradisional yang ada di Kepulauan Togean kami sulit mendapatkannya, hal ini diakibatkan karena masyarakat yang ada di kepulauan Togean mendukung untuk tidak membeli ikan hasil penangkapan dengan menggunakan bom. Hasil ini umumnya dijual ke luar misalnya Gorontalo, Ampana atau Palu. 

Bom yang digunakan terbilang sederhana, namun nelayan dan masyarakat di sekitaran pulau tidak mengetahui dampak yang bisa ditimbulkan oleh bom tersebut. Dampak jangka panjang yang akhirnya malah merugikan dirinya sendiri sebagai nelayan, anak cucunya atau mereka mungkin belum menyadari pentingnya sebuah keberlangsungan terumbu karang bagi ikan. Karena itulah, seharusnya setiap petugas gencar melakukan sweeping bagi siapapun yang membawa dan menggunakan bom ikan atau melakukan sosialisasi dan penyuluhan agar terumbu karang tetap terjaga dan lestari. 

Hari sudah menjelang malam, senja tenggelam diufuk barat Kepulaun Togean. Tampak jelas bahwa keindahan luar biasa disajikan “gratis” oleh sang pencipta, Tim Patroli Perairan pada saat itu bersiap melanjutkan perjalanan malam menerobos ombak yang berkejaran seakan waktu takan kembali, semilier angin laut menusuk tulang-tulang kami diiringi suara angin laut yang sepoi-sepoi untuk bergerak menuju Desa Popolii melaksanakan program kegiatan selanjutnya. Patroli Perairan Kawasan Konservasi Balai Taman Nasional Kepulauan Togean 2011. 

SELAMATKAN TERUMBU KARANG DEMI MASA DEPAN ANAK CUCU KITA…

Salam Lestari…!

*Tulisan ini telah terpublikasikan dan tersebar dibeberapa media*

28/11/11

Spesies Hewan yang Telah Punah


1. Burung Dodo Punah Sejak Abad-17 


Dodo (Raphus cucullatus) adalah burung terbang yang hidup di Pulau Mauritius. Terkait dengan merpati dan merpati, ini berdiri sekitar satu meter (tiga kaki), hidup pada buah dan bersarang di tanah. Dodo telah punah sejak abad ke-17 pertengahan-ke-akhir.

Sumber Gambar : Google
Hal ini biasanya digunakan sebagai pola dasar spesies punah karena kepunahan yang terjadi selama sejarah manusia tercatat, dan berkaitan secara langsung dengan aktivitas manusia. Frasa kata sifat "sebagai mati sebagai seorang dodo" berarti niscaya dan tidak diragukan lagi mati. Frase kata kerja "untuk pergi cara dodo" berarti untuk menjadi punah atau usang, untuk jatuh dari penggunaan umum atau praktek, atau menjadi sesuatu dari masa lalu. 

Tidak jelas darimana kata dodo berasal. Mungkin berhubungan dengan dodaars, bahasa Belanda untuk sejenis bebek. Ada hubungan antara keduanya karena kemiripan bulu di kakinya atau karena kedua binatang ini kaku. Bagaimanapun, orang Belanda juga diketahui menyebut unggas dari Mauritius ini dengan walghvogel (unggas yang membuat mual) karena rasanya. Nama terakhir ini digunakan pertama kali dalam jurnal dari laksamana Wybrand van Warwijck yang mengunjungi dan memberi nama Mauritius tahun 1598. Dodo atau Dodaerse kembali tercatat dalam jurnal kapten Willem van West-Zanen empat tahun kemudian, namun tidak jelas apakah dia yang pertama kali menggunakan nama tersebut, karena sebelum orang Belanda, orang Portugis sudah mengunjungi pulau itu tahun 1507, tetapi tidak menetap.


Menurut Kamus Encarta dan Kamus Etimologi Chambers, "dodo" berasal dari bahasa Portugis doudo (sekarang doido) berarti "bodoh" atau "gila". Namun, istilah Portugis untuk burung itu sekarang, dodô, berasal dari bahasa Inggris. Kata doudo atau doido di bahasa Portugis sendiri kemungkinan berasal dari bahasa Inggris lama ("dolt"). Keraguan bahwa asal kata itu dari Portugis juga karena, dalam bahasa Portugis, nama yang dibentuk dari pengulangan dua syllables terdengar kekanak-kanakan.

Dodo adalah burung yang tidak takut pada manusia, dan ditambah ketidakmampuannya untuk terbang, membuatnya menjadi mangsa yang mudah ditangkap. Orang yang mendarat di Mauritius memakan burung ini. Namun, banyak jurnal melaporkan rasa dodo tidak enak dan dagingnya yang keras, sementara spesies lokal lainnya seperti Rail Merah enak rasanya. Umumnya dipercaya bahwa pelaut Melayu menghargai burung ini dan membunuhnya hanya untuk menggunakannya sebagai hiasan kepala dalam upacara keagamaan. Manusia pertama yang mendatangi Mauritius membawa binatang baru, seperti anjing, babi, kucing, tikus dan kera pemakan kepiting yang menghancurkan sarang dodo, sementara manusia menghancurkan hutan tempat dodo tinggal. Kini, dampak dari binatang-binatang itu — terutama babi dan kera — pada kepunahan dodo dianggap lebih berpengaruh dibanding pengaruh dari perburuan. Ekspedisi tahun 2005 menemukan banyak binatang yang mati akibat banjir. Kematian masal demikian semakin menyulitkan bagi spesies yang sudah terancam punah.

Walaupun banyak laporan tentang pembunuhan masal dodo untuk bekal makanan dalam kapal, penemuan arkeologis sampai sekarang kurang mendapatkan bukti dari adanya manusia yang memangsa burung ini. Tulang belulang dari setidaknya dua dodo ditemukan dalam gua di Baie du Cap yang digunakan sebagai tempat berlindung buronan budak dan narapidana dalam abad ke-17, tapi karena tempat itu terisolasi di ketinggian, daerah itu sukar dicapai oleh dodo.


2. Cave Lion Punah Sejak 2000 Tahun Lalu 

Sumber Gambar : Google
Singa gua, juga dikenal sebagai singa gua Eropa atau Eurasian, adalah subspesies punah singa diketahui dari fosil dan berbagai seni prasejarah. Subspesies ini adalah salah satu singa terbesar. Seorang laki-laki dewasa, yang ditemukan pada tahun 1985 dekat Siegsdorf (Jerman), memiliki tinggi bahu sekitar 1,2 m dan panjang 2,1 m tanpa ekor dengan beratnya mencapai 300 kg atau lebih, yang tentang ukuran sama sebagai seekor singa modern yang sangat besar. Laki-laki ini bahkan melebihi oleh spesimen lain dari subspesies. Oleh karena itu kucing ini mungkin sudah sekitar 5-10% lebih besar daripada singa modern. Ini rupanya punah sekitar 10.000 tahun lalu, selama glaciation Wurm, meskipun ada beberapa indikasi itu mungkin sudah ada baru-baru ini sebagai 2.000 tahun yang lalu, di Balkan.

Cave Lion adalah subspesies singa raksasa,  adalah salah satu predator paling berbahaya dan kuat selama Zaman Es terakhir di Eropa, dan ada bukti bahwa ia ditakuti, dan mungkin disembah oleh manusia prasejarah. Banyak lukisan gua dan beberapa patung telah ditemukan yang menggambarkan Singa Gua. 

Menariknya, ini menunjukkan bahwa singa ini nyaris tidak memliki bulu leher, seperti pada harimau modern. Hal ini membingungkan, beberapa lukisan gua juga menunjukkan Singa Gua memiliki garis-garis samar pada kaki dan ekor. Hal ini menyebabkan beberapa ilmuwan menyimpulkan bahwa mungkin Singa Gua sebenarnya lebih terkait dengan Harimau.





3. Rusa Irlandia Punah 7.700 Tahun Lalu




The Elk atau Rusa Raksasa, adalah rusa terbesar yang pernah hidup. Ia tinggal di Eurasia, dari Irlandia ke sebelah timur Lake Baikal, selama Late Pleistocene dan awal Holocene. Sisa dikenal terakhir spesies sudah adalah karbon jaman ke sekitar 5.700 BC, atau sekitar 7.700 tahun yang lalu. Rusa Raksasa terkenal untuk ukuran berat (sekitar 2,1 meter atau 7 kaki tinggi di bahu), dan khususnya untuk memiliki tanduk terbesar dari setiap cervid dikenal (maksimal meters/12 3,65 meter dari ujung ke ujung dan beratnya sampai 90 pon).

Diskusi penyebab kepunahan mereka masih terfokus pada tanduk (bukan pada ukuran tubuh mereka secara keseluruhan), yang mungkin lebih disebabkan dampaknya pada pengamat daripada milik sebenarnya. Beberapa berburu telah disarankan oleh manusia adalah faktor dalam runtuhnya Elk Irlandia seperti itu dengan banyak prasejarah megafauna, bahkan dengan asumsi bahwa ukuran tanduk besar membatasi pergerakan laki-laki melalui kawasan hutan atau bahwa hal itu oleh beberapa lain berarti "maladaptation ". Tetapi bukti overhunting kurang tegas, dan sebagai spesies kontinental, itu akan bersama-berevolusi dengan manusia di seluruh keberadaannya dan mungkin telah beradaptasi dengan kehadiran mereka. 






24/11/11

Sebulan ini....!

Sebulan ini.... Masih disini.... Dengan kondisi semangkuk penuh frustasi dan segelas kebosanan kadar tinggi yang membuat diri semakin depresi tanpa solusi... !!!

Akh Sudahlah.... Biarkan seperti ini, entah kapan sampai dan berterima kasih bukan hanya demonstrasi. Astagafirullahuladzim.....

28/08/11

Atas Nama "tuhan"

Kehidupan ini berjalan seiring waktu dan tidak mengenal kompromi bagi siapa saja yang terlambat untuk memanfaatkannya mengisi warna warni kehidupan. Siapa yang terlambat maka ia akan tergilas dan siapa yang cepat maka ia akan memerankan peran menjadi aktor dalam sandiwara kehidupan. Sebagian orang memilih menjadi peran utama, sebagian lagi menjadi peran pembantu dan mungkin sebagian lainnya hanya menjadi juru rias, cleaning service, atau bahkan hanya jadi penonton yang menikmati hidupnya diluar panggung sandiwara yang kita kadang sebut ”Kehidupan”. 
Apapun peran yang kita mainkan dalam kehidupan ini yang pasti punya tujuan, entah untuk nilai komersialisasi, nilai status sosial atau bahkan mengatasnamakan ”Tuhan” sekalipun, yang penting kita punya peran. Semakin lama sandiwara ini kita mainkan maka semakin banyak hal yang perlahan tapi pasti mulai kita pahami dan pemahaman itulah yang telah membuka pintu hati kita untuk mengenal sang ”Sutradara” yang kita sebut ”Tuhan”. 
Selama berhari-hari, Bulan bahkan bertahun-tahun kita menjadi aktor dari Skenario cerita kehidupan yang kita sering bimbang dan bingung apa yang ada di balik cerita yang kita perankan. Boleh jadi kita isi cerita kehidupan ini dengan menjadi preman, pelacur, penjudi, peminum tapi tidak menutup kemungkinan garis takdir mengantarkan hidayah sehingga status sosial kita di tengah-tengah masyarakat menjadi seorang guru, dosen atau bahkan lebih mulia ”Seorang Ustazd”. 
Kita mulai tersentak dan tersadar ketika cerita kehidupan ini menguak misteri yang jauh dari perencanaan dan logika kemanusiaan kita. Kita tidak pernah menyangka bahwa seorang pelacur yang kita ”nistakan” kemudian berbalik menjadi muslimah seutuhnya. Atau yang lebih ironis lagi ternyata kita temukan seorang tokoh agama yang rela menjual aqidahnya untuk meningkatkan status ekonominya (Penulis tidak tega menggunakan istilah ”korupsi” kalaupun itu kenyataannya).
Ulah ”liar” manusia, berbuat sesuka hatinya, saling zalim menzalimi, zina menzinahi dan seakan-akan tanpa kontrol terkadang telah menggoda alam berpikir kita untuk kemudian bertanya kemana perginya ”Sang Sutradara” ?, apakah setelah ia ciptakan kehidupan kemudian ia menghilang dan membiarkan manusia menggoreskan takdirnya sendiri ? Atau mungkin ”Sang Sutradara” memilih dan memilah mana aktor yang tepat untuk satu peran tertentu dalam Skenario-Nya ?
Berbagai spekulasi jawaban dari rentetan pertanyaan tersebut. Satu diantaranya ketika Friendrich Wilhelm Nietzche dalam diktumnya “Tuhan telah mati”. Pandangan Nietzche itu kemudian memperoleh dukungan dari para ilmuan ternama lain, seperti Sigmund Freud, Karl Marx dan sederetan nama lain yang pada dasarnya berpendapat bahwa ajaran agama tak lebih sebagai sebuah ilusi dan hiburan sesaat untuk lari dari derita hidup dan sama sekali bukan penyelesaian problem hidup itu sendiri.
Tentu saja dalam kehidupan ini yang hidup bukan hanya Nietche. Bagi Albert Einstein, tidak terbayangkan olehnya ada para ilmuan yang tidak punya keimanan mendalam. Makin jauh kita masuk pada rahasia alam, makin besar kekaguman dan penghormatan kita pada Tuhan. Ketika Einstein ditanya apakah Ia percaya kepada Tuhannya Spinoza, filosof Yahudi dari Belanda, Ia berkata :

Aku tak bisa menjawabnya dengan sederhana; ya atau tidak. Aku bukan ateis dan aku tidak juga dapat menyebut diriku panteis. Kita ini mirip seorang anak yang masuk kesebuah perpustakaan besar, penuh dengan buku dalam berbagai bahasa. Anak itu tahu bahwa pasti ada orang yang telah menulis buku-buku itu. Secara samar-samar, si anak menduga adanya keteraturan misterius dalam penyusunan buku-buku itu, tetapi Ia tak tahu bagaimana. Bagiku, itulah sikap yang sesungguhnya dari bahkan orang yang paling cerdas sekalipun terhadap Tuhan. Kita melihat alam semesta disusun dengan sangat menakjubkan dan mematuhi hukum-hukum tertentu. Tetapi, kita hanya memahami hukum-hukum itu secara samar-samar saja. Pikiran kita yang terbatas tak dapat menangkap kekuatan misterius yang menggerakkan semesta. Aku terpesona dengan panteisme spinoza, tetapi aku jauh lebih mengagumi lagi sumbangannya bagi pemikiran modern karena dialah filosof pertama yang memperlakukan jiwa dan badan sebagai satu kesatuan, bukan dua hal yang berbeda.
Ketakjubannya pada penemuan sains membawa Einstin kepada Tuhan. Jika pandangan agamanya mempengaruhi pemikiran ilmiahnya, pada gilirannya pemikiran ilmiahnya mewarnai pandangan agamanya.  Dalam pandangan Einstin, salah satu intekasi antara agama dan ilmu pengetahuan adalah agama menyumbangkan ajarannya pada ilmu pengetahuan dan ilmu pengetahuan menghadiahkan penemuannya pada agama.
Siapaun orangnya, entah Nietche atau Einstein, atau siapapun ia, semuanya berbicara atas nama ”Tuhan”. Satu melihat dari sisi kelam-Nya dan sudut pandang lainnya melihat pencerahan menuju hakekat kemanusiaan yang ”ber-Tuhan”.
Pencarian dan penemuan hakekat ketuhanan sesungguhnya adalah proses pencerahan manusia menuju Tuhannya. Al-Hallaj, seorang sufi besar yang pernah dimiliki oleh dunia Islam, akhirnya dihukum pancung oleh algojo Abul Haris atas perintah Khalifah Bani Abbasiyah karena telah dituduh kafir atas pendapatnya, “Ana Al-Haq” (aku adalah kebenaran) atau “Ana Al-lah” (Aku adalah Allah). Ucapan kesufiannya inilah yang menghadapkan Al-Hallaj ke tiang gantungan.
Kasus Al-Hallaj menggores kepedihan mendalam pada nurani sejarah. Kematiannya memercikkan sentimen publik tentang perebutan makna dan hak istimewa “atas nama Tuhan” untuk mematikan perbedaan pendapat dikalangan masyarakat.  Seolah menjadi penguasa, lantas dengan sendirinya memiliki hak istimewa dari Tuhan untuk menuntun, mengatur dan menentukan jalan hidup orang lain.
Ironisnya, ketika berbagai persoalan sosial keagamaan muncul bukan untuk menjadikan Tuhan sebagai “sebab” dan “tujuan” segala permohonan dan pengabdian melainkan Tuhan dipinjamkan nama-Nya, guna dimanfaatkan sebagai alat, sebagai instumen sosial politik untuk membenarkan berbagai tindakan yang justru melawan kehendak Tuhan itu sendiri.
          Belajar untuk mempelajari keragaman alam berpikir dari sudut pandang yang berbeda dan belajar untuk tidak selalu mengklaim kebenaran hanya dari satu sudut pandang telah membawa alam kesadaran berpikir kita bahwa hanya Tuhan yang berhak untuk mengatasnamakan kebenaran Mutlak dan manusia tidak punya hak mengatasnamakan Tuhan untuk saling menghakimi, saling mengkafirkan bahkan Tuhan tidak pernah memberikan legitimasi manusia mengatasnamakan Tuhan untuk mencabut ”hak nafas kehidupan” manusia lainnya.

08/08/11

Mengutip dari tulisan Dr. Patrick Moore (pendiri Greenpeace)

Masing-masing orang mempunyai pendapat yang berbeda dalam mengemukakan apa saja bentuk isu-isu kehutanan yang berkembang dimasyarakat. Mulai dari isu pengelolaan hutan lestari, kemiskinan, kebijakan kehutanan setelah otonomi daerah, konflik tenurial, sistem administrasi tata usaha kayu, tumpang tindih regulasi dan kebijakan kehutanan pemerintahan pusat dan daerah, hingga isu global warming atau pemanasan global yang hampir selalu menjadi buah pembicaraan kalangan masyarakat dunia.

Mengutip dari tulisan Dr. Patrick Moore, salah satu pendiri Greenpeace yang menyatakan bahwa … pohon adalah jawaban terhadap banyak pertanyaan mengenai masa depan kita : Bagaimana kita dapat memajukan ekonomi yang lebih lestari berbasis pada bahan-bahan dan bahan bakar yang dapat diperbaharui? Bagaimana kita dapat memperbaiki kemampuan ‘baca’ dan sanitasi di negara-negara berkembang sambil memulihkan kerusakan hutan dan menjaga margasatwa pada waktu bersamaan? Bagaimana kita dapat mengurangi jumlah emisi gas rumah kaca di atmosfer terutama CO2? Bagaimana kita dapat meningkatkan jumlah lahan yang akan mendukung semakin banyak spesies keragaman hayati? Bagaimana kita dapat membuat dunia ini lebih indah dan hijau? Jawabannya adalah dengan menanam lebih banyak pohon dan kemudian menggunakan lebih banyak kayu…

Lebih lanjut Patrick Moore menyatakan dalam hubungannya dengan perubahan iklim, kita harus menggunakan lebih banyak kayu, bukan mengurangi. Dinegara-negara tropis sedang berkembang yang mayoritas penghasilan penduduknya rendah, masih banyak orang yang menggunakan kayu sebagai sumber energi. Walaupun saat ini pengalihan bahan bakar kayu ke bahan bakar subtitusi sedang digalakkan, namun hal ini perlu ditelaah lebih lanjut. Bukankah bahan bakar subtitusi (non-renewable) yang sering digunakan itu contohnya adalah batu bara, minyak bumi dan gas alam? Selain itu juga saat ini semakin dikenal penggunaan bahan bangunan non-kayu seperti besi, semen dan plastik, bukankah untuk memperoleh bahan-bahan tersebut juga membutuhkan bahan bakar fosil dalam jumlah besar? Semua itu pada akhirnya akan meningkatkan kapasitas (emisi) CO2 di bumi dan memperluas pembukaan lahan untuk memproduksi sumber energi subtitusi non-renewable. Ini jelas-jelas bertentangan dengan Konvensi Perubahan Iklim Internasional.

Para aktivis lingkungan (contoh : LSM “X”) pernah berbicara tentang moratorium sebagai solusi untuk mengembalikan kelestarian hutan. Moratorium mereka artikan sebagai jeda tebang hutan atau kegiatan penghentian penebangan kayu yang bersifat sementara dan dalam skala besar (skala industri) sampai kondisi hutan yang diinginkan tercapai. Dalam artian, kegiatan moratorium tidak mempersilahkan dilakukannya penebangan kayu pada satu kawasan hutan dalam bentuk apapun sampai kondisi hutan kembali dalam bentuk semula, waktu yang sering dinyatakan dalam konsep ‘mereka’ bisa mencapai 15 tahun. Nah, melihat pernyataan ini, sebagai rimbawan tentunya kita harus menyeleksi kebenarannya. Masa depan manusia tidak akan bisa lepas dari kayu, apapun itu bentuknya. Sekolah-sekolah butuh buku pelajaran yang terbuat dari kertas, bahan kertas adalah kayu. Manusia meninggal butuh kayu untuk peti matinya, tidak mungkin peti mati terbuat dari besi bukan? Sungguh suatu konsep yang salah.

Konsep moratorium dalam ilmu kehutanan yang ‘real’ memang diartikan sebagai jeda tebang sementara yang diberlakukan pada satu kawasan hutan. Namun moratorium yang dinyatakan oleh LSM “X” tersebut bercermin kepada konsep moratorium yang berasal dari negara asalnya, yaitu Costarica yang memiliki luasan hutan yang relatif kecil dan penebangan yang dilakukan tidak berdasarkan umur daur. Sementara moratorium yang sebenarnya di Indonesia adalah penghentian tebangan untuk suatu kawasan hutan yang sudah dibagi kedalam petak-petak tebang, dimana siklusnya sesuai dengan umur daur (misalnya umur daur 35 tahun). Pada saat mencapai masa tebang, dilakukan penebangan kayu pada petak 1, tahun berikutnya penebangan dilakukan di petak 2, hal ini berlaku seterusnya untuk tahun-tahun berikutnya sampai 35 tahun. Sehingga penebangan kembali pada petak 1 akan dilakukan pada tahun ke-36 saat kondisi hutan kembali seperti semula seperti yang mahasiswa manajemen kehutanan pelajari dibangku kuliah. Dalam hal ini, setiap dilakukan penebangan tentu saja harus diimbangi dengan kegiatan penanaman kembali pada petak yang telah ditebang, inilah yang disebut praktik pengelolaan hutan lestari. Sejalan dengan konsep Patrick Moore bahwa penanaman pohon HARUS seimbang dengan penggunaan kayu.

Ilmu kehutanan harus mampu bersosialisasi dengan ilmu-ilmu lain, disitulah peranan rimbawan dibutuhkan. Rimbawan harus diberikan peran yang semestinya dan harus semakin bijak dalam menyikapi isu-isu kehutanan yang sedang berkembang, mengutamakan logika dan fakta yang telah diketahui kebenarannya lebih lanjut. Saatnya para rimbawan mengetahui fakta-fakta yang seimbang dengan kebenaran konsep realnya. Berpedoman pada sebuah konsep toh sah-sah saja, hanya harus pandai menyikapi kemungkinan adanya ‘hidden agenda‘ dibaliknya. Para rimbawan, keep in touch

13/07/11

Ada Apa dengan Perambahan Hutan..??

Oleh :
Zulfikar Andi Burhan Andi Aziz
(tulisan ini dikirim pada beberapa artikel majalah kehutanan indonesia)


Banyak presepsi dan pendapat tentang penyebab kerusakan hutan oleh beberapa kalangan rimbawan. Ada yang berpendapat bahwa kerusakan hutan adalah akibat kurangnya kombinasi antara manusia, kebijakan pemerintah, system ekonomi dan politik yang penuh nuansa korupsi, kolusi dan nepotisme. Atau kerusakah hutan dapat disebabkan oleh perbuatan-perbuatan manusia (anthroposeres) dan atau oleh gangguan alam itu sendiri. Kerusakan hutan pada umumnya disebabkan oleh semakin renganggnya hubungan antara manusia terhadap hutan itu sendiri baik dari segi paradigma berfikir maupun dari segi kebutuhan manusia akan hidup yang tergantung dari hasil hutan kayu dan bukan kayu yang bernilai ekonomis. Dengan kata lain, kelestarian hutan hanya dapat diwujudkan ketika masih terdapat harmonisasi antara manusia itu sendiri dan hutan dengan segala problematikanya. Dilain pihak beberapa masyarakat sekitar hutan yang selama bertahun-tahun hidup dalam hubungan harmonisasi dengan hutan dan hasil hutan tidak dapat memanfaatkan sumber daya alam ini karena pada sisi lain terdapat segelintir orang yang memonopoli pengusahaan hutan tersebut. Sisi ini menyebabkan masyarakat tersebut menggunakan segala cara seperti perambahan dan pencurian kayu. 

Perambahan hutan kini bahkan sudah menjadi masalah kompleksitas dunia internasional, hal ini dengan dicanangkannya oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui resolusi 61/193 telah memproklamirkan bahwa Tahun 2011 sebagai Tahun Kehutanan Internasional, sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran pada pihak dalam pengelolaan hutan yang lestari untuk kepentingan generasi sekarang maupun yang akan datang.

Perambahan hutan dapat diartikan Individu maupun kelompok dalam jumlah yang lebih kecil maupun besar yang menduduki suatu kawasan hutan untuk dijadikan areal lain baik perkebunan, pertanian, pertambangan dan lain sebagainya yang bersifat sementara atupun dalam waktu yang cukup lama pada kawasan hutan negara yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah secara illegal dan tidak sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi.


Perambahan banyak disebabkan karena lebih kepada kepentingan individu akibat keterdesakan sempitnya lahan usaha masyarakat. Termaksud dalam kategori ini masyarakat masih mempraktekkan pola perladangan berpindah walaupun umumnya mereka mengetahui bahwa kawasan hutan negara tidak serta merta mereka dapat miliki.

Dewasa ini terdapat 10 juta lebih peladang berpindah atau pemukim yang menetap di dalam kawasan hutan negara. Kemudian, faktor pemicu deforestasi berikutnya adalah kebakaran hutan (baik disengaja maupun tidak) yang masih sulit dikendalikan dan memusnahkan jutaan hektar hutan alam serta hutan tanaman dalam beberapa tahun terakhir.

Penyebab lainnya adalah kegiatan konversi lahan hutan ke usaha non-kehutanan yang menurut Bank Dunia 67 persen dari penyebab deforestasi akibat perambahan. Konversi hutan ini antara lain dilakukan untuk hutan tanaman industry (HTI), perkebunan, pertambangan, pertanian, transmigrasi dan sebagainya. Luas areal perkebunan (baik perkebunan besar maupun perkebunan rakyat) terus meningkat dari tahun ke tahun. Pertumbuhan luas paling spektakuler terjadi pada perkebunan kelapa sawit, yakni rata-rata 14 persen per tahun. Tidak jarang, pengembangan kebun kelapa sawit menjadi kedok untuk mencuri kayu. Tidak adanya tindakan tegas terhadap praktik serupa di masa lalu membuat praktik seperti ini kembali muncul akhir-akhir ini seperti yang dikutip dalam situs http://j.mp/nspVPt

Ada beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat sekitar hutan melakukan perambahan. Kedekatan serta ketergantungan masyarakat yang hidup di sekitar kawasan hutan dengan hutan tersebut, menyebabkan adanya interaksi masyarakat dengan hutan di sekitarnya. Walaupun pada awalnya interaksi antara masyarakat dan hutan terjadi dengan tetap memperhatikan aspek pelestarian alam, tetapi dengan semakin berkembangnya peradaban dan kebutuhan, maka interaksi yang terjadi antara masyarakat dengan hutan sudah mulai bergeser.

Masyarakat desa pada umumnya hanya mengendalikan sumber mata pencarian dari sektor pertanian. Keterbatasan lahan yang dimiliki oleh setiap keluarga serta peningkatan kebutuhan menyebabkan sebagian masyarakat kurang mampu melakukan perambahan hutan untuk memperluas areal dan produksi pertaniannya. Semakin tinggi perambahan yang dilakukan maka semakin tinggi pula tingkat kesejahteraan yang dimilikinya. Selain itu tingkat kesejahteraan yang dimiliki oleh masyarakat disekitar hutan relatif kurang mampu. Rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat disekitar hutan menyebabkan rendahnya tingkat pemenuhan ekonomi yang semakin meningkat ditandai dengan jumlah anggota keluarga dan perubahan jaman menyebabkan masyarakat disekitar hutan mengambil jalan pintas dengan melakukan perambahan. Rendahnya kesejahteraan masyarakat disekitar hutan juga melatarbelakangi mereka dalam berbagai aktivitas pemanfaatan sumber daya alah tanpa memperhatikan aspek kelestariannya. Sehingga kepentingan jangka pendek yang merugikan seringkali digunakan tanpa memperhatikan jangka panjangnya.

Terkait dengan hal-hal semacam itu maka sangat sulit memunculkan kesadaran bersama. Sebab pemerintah dalam hal ini tidak mempunyai data dan kondisi hutan yang akurat. Bukan saja data potensi sumberdaya alam tapi juga potensi rawan bencana alam, gunung meletus, lahan pertanian, hutan, lahan tidur, dan daerah aliran sungai yang seharusnya menjadi perhatian, malah terkesan terabaikan.

Sebagaimana pendapat khearul yang dikutip dalam tulisan berjudul Hutan adalah Jantung ekosistem bahwa beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat melakukan perambahan adalah faktor ekonomi, faktor pendidikan, faktor alam (kesuburan tanah), adanya sponsor, keterbatasan petugas pengawasan hutan dan pelaksanaan sanksi hukum. 

Tingkat kesuburan tanah cukup tinggi, dengan tingkat kesuburan tanah yang tinggi menyebabkan masyarakat disekitar hutan tergiur untuk membuka lahan baru. Sebelum melakukan perambahan, banyak masyarakat yang tidak memiliki lahan. Setelah mereka melakukan perambahan maka luasan lahan mereka semakin bertambah yang notabene lokasinya rata-rata berada didekat rumah mereka.

Dilain pihak, sudah menjadi rahasia umum bahwa terjadinya perambahan khususnya pencurian kayu tidak dilakukan sepihak oleh perambah itu sendiri, tetapi karena adanya pihak lain yang pihak lain yang mempunyai kepentingan akan pengusahaan kayu. Dalam hal ini, kegiatan erambahan hutan lebih ditunjukkan pada penebangan liar dan pencurian kayu. Penebangan dan pencurian kayu dilakukan oleh masyarakat karena adanya pihak-pihak yang menampungnya baik memfasilitasi sarana prasarana maupun membeli hasil perambahan tersebut. Bahkan ada yang menjadi sponsor karena tidak jarang masyarakat menerima uang muka terlebih dahulu sebelum melakukan pencurian kayu.

Faktor lain yang menyebabkan perambahan adalah keterbatasan polisi kehutanan serta saran dan prasarana yang dimiliki untuk tujuan pengawasan terhadap masyarakat yang melakukan perambahan. Ataupun setelah petugas polisi kehutanan melakukan penangkapan maka pelaksanaan sanksi hukum yang kurang tegas terhadap perambah hutan itu sendiri.

Akses jalan menuju kawasan juga sangat mempengaruhi terhadap kelestarian alam. Kemudahan bagi masyarakat perambah menuju ke kawasan akan menstimulus bagi mereka untuk membuka lahan-lahan didalam kawasan hutan. Tersedianya akses jalan akan memudahkan bagi mereka untuk mengangkut barang kebutuhan maupun hasil produksi dari lahan yang diusahakan. Aktivitas tambang didalam kawasan juga menjadi penyebab masuknya masyarakat kedalam kawasan hutan. Biasanya adanya aktivitas tambang, masyarakat semakin banyak melakukan perambahan yang berakibat semakin memperparah kondisi kawasan itu sendiri. Jalan tambang merupakan salah satu aksebilitas perambah kedalam kawasan hutan maka kegiatan perambah akan semakin kedalam bahkan kegiatan perambahan dapat mereka lakukan beberapa kilometer lebih jauh kedalam lagi.

Berbagai masalah perambahan hutan dan pencurian kayu dapat dilakukan melalui kebijakan-kebijakan seperti melakukan inventarisasi perambah hutan. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan data yang akurat tentang jumlah perambah dan luas hutan yang dirambah. Untuk melakukan penurunan perambah hutan dapat dilakukan dengan metode persuasif, yaitu dengan memberikan pengertian-pengertian sehingga perambah bersedia meninggalkan lokasi perambahan dan tidak kembali lagi melakukan perambahan.

Disamping itu, dilakukannya pembinaan terhadap masyarakat adalah untuk menghindari terjadinya perambahan kembali pada kawasan hutan. Pembinaan ini dilakukan dengan penyuluhan bina desa, pembangunan hutan kemasyarakatan (sosialisasi hutan), penanaman bambu batas luar, dan rehabilitasi dan konservasi.

Dalam upaya menyelamatkan kawasan hutan dari kegiatan perambahan oleh masyarakat, melalui koordinasi dengan instansi-instansi serta pihak-pihak terkait telah melakukan upaya-upaya baik preventif maupun represif. Upaya-upaya yang dilakukan berupa pengusiran para perambah keluar dari kawasan hutan, serta penindakan perambah melalui proses hukum.

12/07/11

Konservasi di Indonesia...!

Konsep pembangunan di negara-negara dunia ketiga (termasuk Indonesia) telah terjebak pada sekedar pembangunan fisik, dengan fokus utama pertumbuhan ekonomi. Strategi ini tidak dapat meningkatkan kesejahteraan dan kualitas kehidupan manusia. Pembangunan dengan capaian utama pertumbuhan ekonomi dan asumsi trickle down effects adalah konsep pembangunan yang usang. Pembangunan yang sejati, menurut Arif Budiman adalah pembangunan manusia (Ibrahim 2004). Pembangunan bukan sekedar mengadakan proyek-proyek. Konsep pembangunan harus dicurahkan pada investasi di bidang human capital, karena manusia adalah sumber daya yang paling penting. Manusia adalah makhluk yang paling kreatif. Untuk bisa kreatif,

manusia harus merasa aman dan bebas dari rasa takut. Hanya manusia kreatif yang bisa menyelenggarakan pembangunan dan memecahkan masalah yang dihadapinya. Soedjatmoko menyebut pembangunan yang baik adalah pembangunan yang mendinamisasikan kekuatan-kekuatan masyarakat tanpa rasa takut (Ibrahim 2004). Korten dan Sjahrir (1988) menyebut pembangunan yang berpusat pada manusia sebagai paradigma berpusat pada rakyat (people center development).

Sebagaimana dikutip oleh Ibrahim (2004), Soedjatmoko, seorang intelektual terkemuka Indonesia, menyatakan bahwa usaha pembangunan dan modernisasi yang kita jalani sebagai sebuah bangsa telah menghadapkan kita secara langsung dengan masalah kebudayaan Indonesia. Masalah pembangunan dan kebudayaan ini memunculkan diskusi yang sangat penting mengenai perlunya mempertahankan kepribadian dalam menghadapi perubahan-perubahan sosial yang sangat luas dan mendalam. Kebudayaan juga harus menghadapi implikasi-implikasi pembangunan seperti pengaruh dari luar dalam berbagai bentuk, termasuk gaya hidup, pola konsumsi, teknologi dan ilmu pengetahuan serta dampak komunikasi massa.

Implikasi paling besar dari pembangunan yang dirasakan adalah faktor lingkungan. Dalam 4 dekade terakhir, pembangunan Indonesia ditopang oleh ekstraksi sumber daya alam yang tinggi. Ini mencerminkan persoalan yang lebih global. Indrawan dkk (2007) telah menguraikan persoalan kerusakan masal di Bumi akibat pembangunan ini dengan baik. Ia menyatakan bahwa kepunahan jenis tumbuhan dan hewan saat ini berbeda dengan kepunahan di masa-masa geologi yang lalu. Di masa lalu, kepunahan massal terjadi akibat faktor non-manusia seperti tumbukan asteroid dengan bumi, perubahan temperatur yang drastis, atau bencana besar. Saat ini, kepunahan hampir sepenuhnya dipengaruhi oleh manusia. Kerusakan lingkunan dalam beberapa abad terakhir disebabkan oleh mahluk paling pandai, memiliki akal-budipekerti, serta pemikiran bebas sebagai sifat unik dan khas manusia. Tekanan terhadap lingkungan dan keanekaragaman hayati dipicu juga oleh peningkatan populasi manusia.

Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi dunia berdiri di atas pengurasan sumberdaya alam (minyak bumi, batu bara, emas, nikel, tembaga, kayu, perak). Sebagian besar sumber daya tersebut merupakan sumberdaya yang tidak terbaharukan. Ekstraksi dan eksploitasi terhadap sumber daya alam telah sampai pada titik yang sangat mengkhawatirkan. Senge (2008) menguraikan bahwa saat ini lebih dari 50 juta manusia setiap tahun bermigrasi ke kota-kota. Sumber-sumber perekoniman tradisional di desa telah hancur. Kondisi lingkungan, khususnya lahan dan perikanan, terdegradasi. Hal ini menyebabkan ketimpangan ketimpangan dalam distribusi sumberdaya dan sekaligus dalam ”gaya hidup” antara penduduk kota dan desa. Indonesia sedang mengalami masalah ini dan akan terus berakumulasi di masa depan.

Lebih jelas mengenai ketimpangan tersebut di atas, kita menyimak bukti-bukti yang dipaparkan James Martin melalui bukunya The Meaning of the 21 Century (2007). Ia menyatakan bahwa 7% penduduk dunia mengkonsumsi 80% energi yang tersedia. Bila kita hitung, konsumsi energi, air, dan sumberdaya alam lainnya satu orang di negara maju setara dengan konsumsi 140 orang Afganistan atau Ethiopia. James Martin menguraikan ada tiga macam penyebab kehancuran sumberdaya alam: penurunan kuantitas sumberdaya alam, pertumbuhan penduduk, dan pola konsumsi. Amerika adalah negara yang memberi kontribusi tertinggi bagi pelepasan gas carbon dioksida di atmosfer. Pernyataan James Martin tersebut mungkin dapat mengkonfirmasi adanya asumsi determinan mengenai ledakan penduduk dan batas-batas pembangunan sejak tahun 1970-an.

Sebuah dokumen penting dari Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Club of Rome berjudul The Limits to Growth (1972), menyatakan bahwa menipisnya sumberdaya alam di dunia diakibatkan ledakan penduduk dunia. Bukti dari Senge (2008) dapat kita gunakan untuk mengkritik pandangan deterministik ini. Sebuah komisi minyak yang dibentuk pemerintah dan industri minyak Amerika menyatakan bahwa cadangan minyak dan gas dunia tidak akan mampu mensuplai permintaan global 25 tahun ke depan. Ini mendorong naiknya harga minyak dari $ 25/barrel menjadi $ 100/barel antara tahun 2000 sampai akhir 2007. United States mengkonsumsi 20 juta barrel minya per hari (25% dari konsumsi minyak dunia); China mengkonsumsi 6 juta; Jepang 5 juta. Diperkirakan 80% konsumsi minyak Amerika Serikat adalah impor. Ledakan penduduk yang melesat tinggi di negara-negara berkembang sering dipandang sebagai faktor tunggal bagi masalah pembangunan. Namun demikian, ini tidak bisa menjadi faktor tunggal yang menyebabkan habisnya sumberdaya alam. Gaya hidup dan pola konsumsi negara maju juga menjadi faktor utama. Sementara akibat langsung dari krisis sumber daya alam, pastilah penduduk di negara berkembang. Panel antar pemerintah untuk perubahan iklim di Kopenhagen 13 Maret 2009, memperkirakan pada akhir abad ini permukaan air laut akibat pemanasan global akan naik 18-59 sentimeter. Jutaan hektar dataran rendah akan banjir dan serta ratusan juta orang mengungsi. Pemanasan global yang disebabkan industri di negara maju akan ditanggung oleh penduduk negara-negara miskin (Sinar Harapan, 13/02/09).

Pola hidup dan konsumsi dalam pemakaian sumberdaya alam ini telah menimbulkan ”eksploitasi” dalam bentuk baru. Sementara negara-negara maju melindungi kawasan hutan dan sumber daya alamnya, mereka mengarahkan usaha eksploitasi ke negara berkembang yang berbiaya lebih murah. Contoh paling bagus tentang paradoks ini adalah mengenai hutan tropis kita. Kebutuhan kayu regional dan global telah menyebabkan hutan Indonesia rusak parah dalam tempo 35 tahun terakhir. Di Indonesia, kelangkaan sumberdaya kayu sudah sangat dirasakan lebih dari 10 tahun yang lalu. Di ujung yang lain, Swedia telah mendeklarasikan bebas dari ketergantungan energi dari fosil tahun 2020. Tren di atas menunjukkan kepada kita arah baru yang sangat mengkhawatirkan. Negara-negara maju di Utara menguras sumberdaya alam dari Selatan dan sekaligus menuntut negara-negara Selatan, termasuk Indonesia untuk melindungi sumberdaya alamnya, termasuk sumberdaya hutan.

Tantangan Pengelolaan Kawasan Konservasi

Bagaimana sikap Indonesia? Kawasan hutan yang relatif tidak mengalami kerusakan menjadi pilihan politik yang kontroversial. Kawasan ini umumnya dilindungi, karena statusnya kawasan konservasi. Sampai dengan 2008, luas kawasan konservasi ini mencapai 28,2 juta hektar. Selain kawasan konservasi, terdapat kawasan yang memiliki lanskap dataran tinggi yang disebut sebagai kawasan hutan lindung—untuk kepentingan perlindungan hidrologi dan tata air seluas 20 juta hektar. Kawasan ini dianggap sebagai beban karena tidak memberikan kontribusi ekonomi secara langsung dan banyak diperebutkan karena potensi tambangnya.

Pemerintah yang mendapatkan mandat dari undang-undang untuk melakukan pengaturan, fasilitasi, dan kontrol dalam pengelolaan kawasan-kawasan konservasi menghadapi persoalan-persoalan mendasar. Baik persoalan internal maupun tekanan dari eksternal dan dinamikan sosial budaya, ekonomi, dan politik di sekitar kawasan konservasi. Masalah-masalah tersebut beragam mulai dari, misalnya: di luar Jawa, keberadaan masyarakat adat yang memiliki klaim hak ulayat di dalam kawasan konservasi terus menjadi perdebatan; pembangunan membutuhkan ruang budidaya; penyediaan sarana dan prasarana, seperti pembangunan jalan dan pemukiman baru; kebijakan desentralisasi yang memungkinkan munculnya kabupaten atau provinsi baru di dalam kawasan konservasi; semuanya menjadi tantangan bagi upaya mempertahankan kawasan konservasi sebagai sistem penyangga kehidupan. Belum lagi potensi tambang (minyak bumi, gas alam, berbagai bahan mineral-emas, batu bara, tembaga, perak, nikel, dan sebagainya) di dalam kawasan konservasi. Potensi tambang tersebut menjadi komoditas politik kelompok elite yang memiliki kekuasaan sangat besar. Tidak mengherankan apabila kawasan konservasi menjadi titik temu berbagai kepentingan lintas sektor sehingga memunculkan, misalnya undang-undang sektoral yang dipenuhi kontroversi.

Di Sumatra dan Kalimantan hutan-hutan alam yang berstatus hutan produksi telah mulai habis. Hutan itu berubah menjadi hutan-hutan miskin dan terbuka serta diduduki oleh masyarakat untuk kebun sawit, karet, atau digunakan untuk kepentingan spekulasi tanah. Studi yang dilakukan oleh WWF tentang kondisi hutan Riau menunjukkan data sebagai berikut : tutupan hutan alam 1988 (5,6 juta Ha), tahun 2000 (3,3 juta Ha), dan tahun 2005 (2,7 juta Ha). Hampir 50% hutan alam di Provinsi Riau lenyap dalam tempo 17 tahun, atau rata-rata kehilangan hutan alam seluas 170.590 Ha/tahun. Walaupun studi ini masih diperdebatkan keabsahannya, tetapi apabila benar, sungguh suatu keadaan yang mengerikan. Contoh lain di kawasan konservasi di Provinsi Riau, yaitu TN Tesso Nilo. Pada periode 2005-2006, di kawasan TN tesso Nilo dan areal rencana perluasannya (eks HPH PT. Nanjak Makmu), telah terjadi penambahan luas perambahan dari 18.162 Ha (2005) menjadi seluas 35.600 Ha (2006) atau terjadi penambahan seluas 17.438 Ha dalam setahun. Areal perambahan ini dikuasai oleh lebih dari 2.300 KK perambah. Menurut informasi, sebagian besar berasal dari Sumatera Utara.

Tata Kelola Pemerintahan dan Kawasan Konservasi

Perubahan pola penggunaan lahan yang sedemikian hebatnya di luar kawasan konservasi telah mengancam secara langsung eksistensi kawasan-kawasan konservasi, sehingga tekanan bagi usaha pelestarian menjadi semakin meningkat. Dalam konteks perkembangan sosial-ekonomi, pembangunan, pertambahan jumlah penduduk, dan perubahan geopolitik juga ikut andil dalam mendorong meningkatnya kompleksitas tantangan dalam pengelolaan kawasan konservasi. Proses otonomi daerah yang tidak didesain secara sistematis dan tanpa masa transisi melahirkan banyak kekacauan. Seringkali dengan retorika ”kepentingan masyarakat”, elit-elit politik lokal memanfaatkan proses otonomi untuk membangun dan melanggengkan jaringan kekuasaan. Meningkatnya konflik satwa liar (gajah, harimau, orang utan) dengan masyarakat di sekitar kawasan konservasi (kasus di TN Gunung Leuser, di sebagian besar Provinsi Jambi, dan Riau) menjadi indikator putusnya ”rantai ekosistem” akibat meningkatnya kerusakan, perusakan habitat satwa liar tersebut.

Tugas pemerintah ( di pusat dan di daerah) seharusnya dapat menjaga pendulum pembangunan agar tidak terjatuh dalam kutub ekonomi (antroposentris) dan juga tidak terpuruk ke kutub ekologi (ecosentris). Pemerintah memiliki mandat untuk melakukan tiga peranan sentral yakni sebagai pengatur, fasilitator, dan kontrol. Mandat ini harus mampu menjaga keseimbangan dua kutub tersebut. Kepemimpinan (leadership) yang efektif dan konsisten dibutuhkan untuk membuat keseimbangan itu terjadi. Kepemimpinan efektif hanya dapat dibangun dari komunikasi efektif. Komunikasi ini didasari atas dasar rasa saling percaya bersama (mutual trust). Selama lebih dari 30 tahun, pemerintah lebih dominan memainkan peranan sebagai pengatur dan mengabaikan peranan pihak lainnya. Watak pengatur ini sampai sekarang masih menjadi ciri dari pemerintah. Ini menjadi kendala internal terbesar bagi organisasi pemerintah pengelola kawasan-kawasan konservasi. Hal ini diperparah dengan selalu munculnya tiga macam konflik: konflik kepentingan (ekonomi vs ekologi), konflik manajemen (tertutup-ekslusif vs terbuka-inklusif), dan konflik di tingkat legislasi nasional (UU berbasis sektor, misalnya UU Migas/Pertambangan Vs UU Kehutanan).

Tantangan pengelola kawasan konservasi saat ini dan ke depan adalah bagaimana membangun manajemen dan mekanisme keseimbangan pengelolaan. Pengelola kawasan dituntut untuk mampu menjembatani kepentingan ekonomi dan kepentingan penyelamatan lingkungan. Ini sesuai dengan tuntutan bagi pemerintah yang harus menyeimbangkan 3 peranan di atas. Hal ini tercapai apabila terdapat inti sari dari manajemen yakni seni kepemimpinan, the art of leadership. Kalau diperas lagi, intisari dari leadership adalah komunikasi. Komunikasi yang efektif akan melahirkan leadership yang efektif.

Suhariyanto-mantan Inspektur Jenderal Dephut, melalui beberapa seri diskusi informal menyatakan kepada penulis bahwa pemerintah harus merubah strategi dan perannya dari layanan konvensional menuju layanan prima. Fokus layanan harus digeser dari mementingkan birokrasi ke layanan berbasis kepentingan publik; orientasinya sikap perlu digeser dari kebanggaan institusi ke fungsi dan manfaat; basisnya dari sekedar dokumen atau formalitas administrasi menuju basis informasi; dan merubah sifatnya dari ekslusif menjadi inklusif. Perubahan tersebut memerlukan komunikasi efektif baik di lingkungan internal pemerintah dan lingkungan eksternal di publik yang lebih luas. Lebih lanjut Suhariyanto menyimpulkan bahwa pemerintah sebagai unsur ”sebab” dan publik sebagai unsur ”akibat”, bukan sebaliknya. Pemerintah dengan mandat dari negara dapat menciptakan hukum dan kebijakan, yang apabila tidak dapat dilaksanakan dengan benar dapat memberi dampak yang besar. Kebijakan pengelolaan sumberdaya alam, yang dimandatkan oleh rakyat kepada pemerintah seringkali berakibat negatif dan berskala besar baik langsung maupun tidak langsung kepada rakyat. Banyak produk hukum dan kebijakan yang disusun lembaga legislatif dan dilaksanakan oleh pemerintah berbenturan dengan berbagai kepentingan publik. Oleh karena itu pemerintah harus sangat hati-hati menyusun kebijakan dan produk hukum. Produk hukum yang diciptakan seharusnya ditinjau dan disusun berdasarkan pada aspek yang lengkap baik aspek ekonomi, sosial atau budaya. Sehingganya dikemudian hari, pelaksanaannya memberi rasa keadilan bagi masyarakat.

Pengelola kawasan konservasi sudah seharusnya memperhatikan secara cermat berbagai persoalan, wacana, dan perkembangan geopolitik, sosial ekonomi, dan aspek kesejarahan yang panjang dan kompleks tersebut di atas. Para pengelola Kawasan Konservasi, sebagai perwakilan pemerintah, harus dapat mengemban minimal tiga aspek: pengaturan, fasilitasi, dan kontrol. Peran ini dimainkan dengan berusaha secara kontinyu membangun transisi dari layanan konvensional menuju layanan prima. Pembangunan karakter dan budaya berorientasi kepada rakyat ini perlu dibangun oleh pemerintah agar dapat dibangun visi dan arah yang jelas, dengan capaiannya adalah terjadinya keseimbangan antara kutub antroposentrisme dan ekosentrisme.

Jaman ”kayu” telah hampir usai. Pengelola kawasan-kawasan konservasi adalah ujung tombak dan garda depan penyelamatan sumberdaya hutan tropis Indonesia yang masih tersisa, terlepas dari apapun latar belakang sejarah, motif politik, kepentingan dan konteks sosial di balik penetapan kawasan konservasi tersebut. Kesadaran diri sebagai garda depan penyelamat hutan tropis juga harus diimbangi dengan keinginan untuk mengubah paradigma dan strategi pengelolaan. Tanpa perubahan tersebut, kehancuran kawasan konservasi Indonesia bukan hanya soal menunggu waktu.

Renungan Konservasi

Wacana dan praktek pengelolaan kawasan konservasi harus dimulai dari kesadaran aktor-aktornya (manusia) untuk memahami konservasi sebagai sebuah gerakan (movement) bersama. Bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah. Pengelolaan kawasan konservasi harus menjadi gerakan baru lintas disiplin keilmuan dan kepentingan. Hal ini karena dimulai dari penemuan dan perjumaan diri seseorang ( on self) terhadap kesadaran konservasi. Kesadaran diri terhadap konservasi akan menghindarkan seseorang dari perasaan kewajiban atau keterpaksaan atau mentalitas birokrat yang pasif. Kesadaran diri ini menentukan arah pengelolaan menuju tujuan yang ditetapkan secara inklusif dan mengakomodasi berbagai kepentingan saat ini maupun lintas generasi.

Ini membawa kita kepada sebuah diskusi tentang pengelolaan kawasan konservasi yang bukan hanya pekerjaan belaka atau kesempatan kerja. Ini menandai bahwa konservasi jauh melampaui hal-hal teknis. Konservasi dapat digunakan sebagai sebuah jalan untuk menemukan pengabdian. Sebuah usaha pencarian identitas yang sangat menarik dan menantang. Masi adakah para pekerja konservasi, baik di jajaran pemerintah, di lingkungan lembaga swadaya masyarakat, NGO international, praktisi, dan pengamat konservasi, memiliki kesadaran akan arah baru seperti ini? Pertanyaan diskursif dan praksis yang layak kita renungkan, agar kita semua tidak terjebak hanya sekedar menjadi tukang-tukang konservasi, bahkan menjadi parasit konservasi karena menjadikan konservasi sebagai lahan untuk hidup tanpa dapat memberikan makna yang mendalam membawanya menuju kemenangan, dan sekaligus menyerahkan tongkat estafet kepada generasi mendatang, sebagian dari bumi yang masih relatif masih utuh.

Sumber : Pak Wir *Taman Nasional Gunung Lausser*

27/06/11

Manajemen kita ngga bagus. Bukan karena masyarakat!


Taman nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai fungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang dikelola dengan sistem zonasi, yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona laoin sesuai keperluan (Undang-undang No.5 Tahun 1990). Pembentukan sebuah taman nasional di Indonesia dilatarbelakangi oleh beberapa alasan, diantaranya untuk penyelamatan sebuah kawasan yang didalamnya terdapat flora dan fauna endemik/langka, menyelamatkan budaya dan tentu saja untuk menyelamatkan kawasan hutan tropis yang masih tersisa. Di Indonesia saat ini terdapat 50 buah taman nasional yang tersebar dari pulau sumatera sampai dengan papua.
Resort merupakan jabatan non struktural yang dibentuk dengan keputusan Kepala Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional (Pasal 31 P.03/Menhut-II/2007). Didalam sebuah taman nasional terdapat beberbagai struktur yang diduduki oleh berbagai tingkatan jabatan sampai dengan staf dilapangan. Resort merupakan garda terdepan dalam sebuah pengelolaan taman nasional. Atasan langsung dari resort adalah Kepala Seksi. Orang-orang yang berada di resort harus berhubungan langsung dengan masyarakat, baik itu masyarakat yang tinggal didalam atau disekitar taman nasional, maupun masyarakat yang melakukan kegiatan-kegiatan illegal didalam sebuah kawasan taman nasional, seperti berburu satwa, illegal loging, perambahan dan pencurian tumbuh-tumbuhan langka yang dilindungi.
Melihat pentingnya dan besarnya sebuah tanggung jawab orang di resort, maka sudah seharusnya orang-orang yang berada di garda terdepan ini memiliki kemampuan yang mumpuni. Bisa diandalkan. Mampu menganalisis masalah dengan cepat, bisa berkomunikasi dengan masyarakat dan berbaur dengan masyarakat.
Banyak program dan dana yang terkadang tersedot di Jakarta dan ditingkat Balai, sehingga membuat orang-orang tingkat seksi dan resort tidak bisa berbuat banyak dalam hal pengamanan kawasan yang menjadi tanggung jawab mereka. Anggaran tahunan yang cenderung disamaratakan disetiap taman nasional membuat sebuah anggaran tersebut tidak cukup jika operasional di taman nasional tersebut membutuhkan biaya operasional yang besar, misalnya dalam hal transportasi. Wilayah Sulawesi, Kalimantan dan Papua apalagi yang merupakan Taman Nasional Laut Kepulauan, biaya transportasi yang menggunakan boat lebih mahal dibandingkan dengan biaya perjalanan darat.
Itu merupakan salah satu masalah yang ada didalam tubuh organisasi yang mengelola taman nasional. Manajemen yang masih jauh dari kata sempurna dan ideal. Belum lagi permasalahan luasnya kawasan yang mereka kelola. Mengelola ratusan ribu hingga jutaan hektar sebuah kawasan hutan bukan sebuah perkara yang bisa dianggap enteng. Permasalahan menjadi semakin rumit jika didalam taman nasional terdapat kelompok masyarakat yang tinggal dan beranak pinak.
Setiap tahunnya permasalahan atau konflik yang terjadi antara masyarakat dan pengelola taman nasional masih sering terjadi dan terus meningkat. Beberpa konflik yang sering terjadi adalah konflik batas hutan dan taman nasional, kepentingan dalam penggunaan ruang atau penetapan zonasi, pemanfaatan lahan dan akses terhadap pemanfaatan sumberdaya alam di taman nasional.
Dibutuhkan sebuah solusi yang cepat dalam pengelolaan taman nasional. Tingginya konflik di taman nasional dan masih sering terjadinya kegiatan-kegiatan illegal disebuah taman nasional membuat beberapa kalangan tidak mempercayai sistem taman nasional dalam upaya penyelamatan sebuah kawasan hutan. Manajemen kolaborasi dan pelibatan masyarakat didalam dan disekitar taman nasional harus diterapkan. Bagaimana masyarakat bisa hidup selaras dan serasi dengan kawasan hutan. Menikmati tinggal dikawasan hutan dan menjaga tempat tinggalnya dari kerusakan. Resort harus dilibatkan secara penuh dalam sebuah perencanaan, pelaksanaan dan monitoring sebuah kegiatan/program di taman nasional. Beri kepercayaan dan ruang gerak yang bebas untuk resort. Bagi seorang Kepala Seksi dan Kepala Balai, buang jauh-jauh pemikiran tentang resort adalah sekelompok orang bawahan atau anak buah yang bisa selalu diperintah dan harus mengikuti perintah atasan. Jangan pernah beranggapan orang-orang di resort adalah sekelompok anak muda yang baru lulus dan tidak tahu apa-apa. Berbaur dan bergabung dengan bawahan adalah penting. Bagi orang lapangan team work adalah harga mati. Permasalahan utama taman nasional ada dilapangan.
“Seksi dan Resort adalah ujung tombak didalam sebuah taman nasional. Biarkan mereka membuat program dan mengelola program tersebut. Baik program dari anggaran pemerintah pusat maupun sumber dana yang lainnya. Karena mereka yang tahu situasi dan kondisi dilapangan. Kenapa disebuah taman nasional dibentuk seksi dan resort? Karena kepala balai tidak akan sanggup mengurusi semuanya. Seksi dan resort merupakan perpanjangan tangan kepala balai. Ngapain kepala balai megang semua kegiatan atau proyek?  Kepala balai cukup mengevaluasi saja pekerjaan-pekerjaan mereka. Di Kementerian Kehutanan ini aneh, semua pegawainya numpuk di Jakarta. SEMUA BERLOMBA-LOMBA INGIN PINDAH KE MANGGALA. Wong permasalahannya ada dilapangan kok. Ngga bisa menyelesaikan masalah hanya melalui telpon dan email. Hadapi langsung dilapangan. Sudah tinggal di Jakarta, semua proyek juga mereka pegang, bagaimana urusan bisa selesai. Semua program atau proyek harus langsung diberikan kepada kepala seksi dan resort biar semua orang mau kerja dilapangan. Orang-orang yang duduk di Jakarta tidak perlu diberikan proyek atau kegiatan yang berhubungan dengan urusan teknis pengelolaan sebuah taman nasional. Kurangnya waktu seorang kepala balai untuk turun ke lapangan dan berbaur dengan bawahan. Kepala Balai Taman Nasional itu 3-4 kali dalam sebulan pasti dipanggil ke Jakarta. Itu resmi panggilan dinas. Belum lagi jatah libur bertemu dengan keluarga setiap bulannya. Klo rumahnya di Jakarta, sudah pasti dia pulang ke Jakarta. Jadi kapan dia bisa ke lapangan bertemu masyarakat dan berbaur dengan anak buahnya?”.
Taman Nasional itu rusak ya karena kita orang balai. Manajemen kita ngga bagus. Bukan karena masyarakat. Jangan kita selalu mengkambinghitamkan masyarakat.
Semoga ada perubahan kebijakan yang mendasar dalam pengelolaan sebuah taman nasional. Keberadaan taman nasional yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia ini bisa menjadi kebanggaan rakyatnya, tidak lagi menjadi sumber masalah bagi masyarakat. Transparansi dan kebijakan yang dibuat oleh seorang Kepala Balai maupun Menteri Kehutanan memang berdasarkan kebutuhan masyarakat luas bukan pesanan sekelompok orang ataupun oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Saya ingin memotret wajah-wajah masyarakat adat dan masyarakat lokal yang tinggal didalam kawasan taman nasional maupun disekitar taman nasional tersenyum sumeringah karena bangga dan bahagia tinggal di taman nasional.