08/03/11

KEWENANGAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI

KEWENANGAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI:
Tinjauan terhadap Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000


Oleh:
Agus Setiawan

Abstract

The research objective is to identify authority of central, province and district/city government on protected area management in autonomy era.   The research concluded that the authority on protected area management is still centralized; most of power from planning to implementation is still governed by central government.

Kata Kunci: Konservasi, kawasan konservasi, kewenangan pengelolaan, otonomi, sentralistis.

PENDAHULUAN

Pengelolaan kawasan konservasi yang sentralistis dan terkesan eksklusif selama ini telah mengakibatkan pengelolaan tersebut tidak mendapatkan dukungan yang kuat dari pemerintah daerah.  Dephutbun (2000) menyatakan bahawa salah satu penyebab kurang efektifnya pengelolaan kawasan konservasi adalah peranan pemerintah daerah dalam kegiatan ini sangat minim.  Di tingkat lapangan, pengelolaan kawasan konservasi sering berbenturan dengan kepentingan pemerintah daerah, bahkan sering dianggap lebih mementingkan perlindungan binatang dari pada kepentingan kesejahteraan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan konservasi.  Pemerintah daerah sering beranggapan bahwa pengelolaan kawasan konservasi  merupakan investasi yang tidak peroduktif, karena tidak secara langsung memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.  Bahkan  kawasan konservasi dianggap sebagai penghambat perluasan penggunaan sumberdaya alam. 
Dalam rangka pemberian wewenang kepada daerah (desentralisasi), Pemerintah Republik Indonesia telah mengundangkan UU RI Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.  Salah satu bagian konsideran UU RI Nomor 22 tersebut menyatakan bahwa dipandang perlu untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfatan sumberdaya nasional, sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan serta potensi, dan keanekaragaman daerah. 
Pembangunan dan pengelolaan kawasan konservasi merupakan bagian integral dari pembangunan yang berpengaruh langsung atau tidak langsung terhadap berbagai aspek lingkungan berskala lokal, regional, nasional bahkan internasional, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Oleh karenanya, kawasan konservasi dan pengelolaan kawasan konservasi merupakan suatu yang sangat strategis,  karena pembangunan dan pengelolaan kawasan konservasi tidak hanya menjadi perhatian nasional tetapi juga dunia internasional.  Beberapa kawasan konservasi tidak hanya menjadi asset negara tetapi juga asset dunia yang perlu dijaga kelestariannya.
Pengelolaan sumberdaya alam dalam perspektif Otonomi Daerah pada dasarnya adalah power sharingbagaimanakah pengaturan power sharing tersebut dalam pembangunan dan pengelolaan kawasan konservasi”. kewenangan pengelolaan SDA antara Pemerintah dengan propinsi dan kabupaten/kota.  Hal yang menjadi pertanyaan adalah “
Penelitian ini bertujuan untuk menelaah kewenangan Pemerintah Pusat (Pemerintah) dan Daerah (Propinsi dan Kabupaten/Kota) dalam urusan konservasi (pengelolaan kawasan konservasi) menurut Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom.

METODOLOGI
            Bahan utama penelitian adalah Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom. 
Analisis dilakukan secara deskriptif melalui kajian pustaka dan perbandingan dengan pendapat pakar ahli.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kewenangan Pemerintah Pusat

Menurut Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Pemerintah Pusat (Pemerintah) memegang kewenangan dalam urusan konservasi.  Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 22 menyatakan “Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, …, serta kewenangan bidang lain”.  Selanjutnya dalam Pasal 7 ayat (2) dinyatakan “Kewenangan bidang lain, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan secara makro, …, konservasi, dan standarisasi nasional.
Secara lebih rinci kewenangan Pemerintah yang berkaitan dengan konservasi diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom.  Pasal-pasal dan ayat ayat yang berkaitan dengan pengaturan wewenang tersebut adalah sebagai berikut:
            Menurut Pasal 2 ayat (1) Kewenangan Pemerintah mencakup kewenangan bidang politik luar negeri …, agama serta kewenangan bidang lain.  Selanjutnya menurut ayat (2) Kewenangan bidang lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan secara makro, …, konservasi, dan standarisasi nasional.  Menurut ayat (3) kewenangan yang dimaksud dalam ayat (2) dikelompokan dalam 25 bidang.  Bidang-bidang yang memiliki kewenangan yang berkaitan dengan konservasi adalah Bidang Kelautan (Poin 2), Bidang Pertambangan dan Energi (Poin 3), Bidang Kehutanan dan Perkebunan (Poin 4), dan Bidang Lingkungan Hidup (Poin 18). Akan tetapi dalam bidang Kelautan dan Pertambangan dan Energi tidak terdapat pengaturan lebih lanjut mengenai kewenangan tersebut.
Kewenangan Pemerintah dalam bidang Kehutanan, khususnya yang berkaitan dengan konservasi (Pasal 2 ayat 3 poin 4) adalah sebagai berikut:
  1. Penetapan kriteria dan standar pengurusan hutan, kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam,  taman buru …(a).
  2. Penetapan kriteria dan standar inventarisasi, pengukuhan, dan penatagunaan kawasan hutan, kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan taman buru (b).
  3. Penetapan kawasan hutan, perubahan status dan fungsinya  (c ).
  4. Penetapan kriteria dan standar pembentukan wilayah pengelolaan hutan, kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan taman buru (d).
  5. Penyelenggaraan pengelolaan kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, taman buru termasuk daerah aliran sungai di dalamnya (e).
  6. Penetapan kriteria dan standar tarif iuran izin usaha pemanfaatan hutan, propinsi sumberdaya hutan, dana reboisasi, dan dana investasi untuk biaya pelestarian hutan (g).
  7. Penetapan kriteria dan standar perizinan pemanfaatan kawasan hutan, pemanfaatan dan pemungutan hasil, pemanfaatan jasa lingkungan, pengusahaan pariwisata alam, pengusahaan taman buru, usaha perburuan, penangkaran flora dan fauna, lembaga konservasi … (i).
  8. Penyelenggaraan izin usaha pengusahaan taman buru, usaha perburuan, penangkaran flora dan fauna yang dilindungi, dan lembaga konservasi, serta penyelenggaraan pengelolaan kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, taman buru termasuk daerah aliran sungai di dalamnya (j).
  9. Penyelenggaraan izin usaha ……dan pengusahaan pariwisata alam lintas propinsi (k).
  10. Penetapan kriteria dan standar konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya yang meliputi perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan secara lestari di bidang kehutanan … (m).
  11. Penetapan norma, prosedur, kriteria dan standar peredaran tumbuhan dan satwa liar termasuk pembinaan habitat satwa migrasi jarak jauh (n).
  12. Penyelenggaraan izin pemanfaatan dan peredaran flora dan fauna yang dilindungi dan yang terdaftar dalam apendiks Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) of Wild Fauna and Flora (o).
  13. Penetapan kriteria dan standar pengamanan dan penanggulangan bencana pada kawasan hutan … (p).
Dari uraian pada poin 1 s.d. 13 dapat dilihat bahwa kewenangan bidang kehutanan yang berkaitan dengan konservasi, meliputi penetapan norma, prosedur, kriteria, standar, dan penyelenggaraan merupakan kewenangan Pemerintah. Sementara kewenagan penetapan pedoman tentang konservasi sumberdaya alam merupakan kewenangan bidang Lingkungan Hidup (Pasal 2 ayat 3 point 18e).
Dalam penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 (A. Umum) dinyatakan: “Untuk penguatan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan, maka kewenangan Pemerintah porsinya lebih besar pada penetapan kebijakan yang bersifat norma, standar, kriteria, dan prosedur, sedangkan kewenangan pelaksanaan hanya terbatas pada kewenangan yang bertujuan:
  1. a.    mempertahankan dan memelihara identitas dan integritas bangsa dan negara;
  2. b.    menjamin pelayanan kualitas umum yang setara bagi semua warga negara;
  3. c.    menjamin efisiensi pelayanan umum karena jenis pelayanan umum tersebut berskala nasional;
  4. d.    menjamin keselamatan fisik dan nonfisik secara setara bagi semua warga negara;
  5. e.    menjamin pengadaan teknologi keras dan lunak yang langka, canggih, mahal, dan berisiko tinggi serta sumberdaya manusia yang berkualifikasi tinggi tetapi sangat diperlukan oleh bangsa dan negara, seperti tenaga nuklir, teknologi peluncuran satelit, teknologi penerbangan dan sejenisnya;
  6. f.      menjamin supremasi hukum nasional;
  7. menciptakan stabilitas ekonomi dalam rangka meningkatkan kemakmuran rakyat.
Jika kita lihat kewenangan Pemerintah dalam urusan konservasi (poin 1 s.d. 13), ternyata kewenangan tersebut tidak terbatas hanya pada penetapan kebijakan yang bersifat norma, standar, kriteria, dan prosedur, tetapi juga mencakup penyelenggaraan.  Ini berarti bahwa kawasan konservasi termasuk sumberdaya yang menentukan identitas dan integritas bangsa. Kawasan konservasi merupakan barang publik yang memberikan fungsi konservasi dan ekologis lebih besar dibanding fungsi ekonomis  dan memberikan pelayanan tidak hanya kepada masyarakat lokal dan regional, tetapi juga pada masyarakat nasional dan internasional.
Alasan lain yang cukup logis karena pembangunan di suatu daerah otonom memperlihatkan kecenderungan untuk meletakkan tekanan utama pada maksimisasi manfaat ekonomi bersih (net economic benefit) sebagai kriteria bagi pengembangan dan pengelolaan sumberdaya alam.  Sementara banyak kawasan konservasi yang arealnya mencakup beberapa propinsi dan kabupaten.  Karena itu, Suhendang (2000) mengkhawatirkan otonomi daerah akan mendorong terjadinya fragmentasi lahan hutan  (termasuk kawasan konservasi) ke dalam bagian-bagian ekosistem dan kesatuan-kesatuan pengelolaan hutan yang sempit.  Sedangkan menurut teori biogeografi, makin luas dan kompak suatu kawasan konservasi akan semakin baik (efektif).
Selain kewenangan tersebut di atas, sesuai dengan Pasal 2 ayat (4) masih terdapat kewenangan Pemerintah yang berlaku di berbagai bidang selain kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (3) dan dapat berkaitan dengan kegiatan konservasi, yaitu:
  1. Penetapan kriteria penetapan dan perubahan fungsi ruang kawasan/lahan dalam rangka penyusunan tata ruang (c);
  2. Penetapan pedoman pengelolaan dan perlindungan sumberdaya alam (g);
  3. Pengelolaan dan penyelenggaraan perlindungan sumberdaya alam di wilayah laut di luar 12 (dua belas) mil (h);
  4. Pengaturan penerapan perjanjian dan persetujuan internasional yang disahkan atas nama negara (i);
  5. Penetapan arah dan prioritas kegiatan riset dan teknologi termasuk penelitian dan pengembangan teknologi strategis dan berisiko tinggi (m);
  6. Penetapan kebijakan sistem informasi nasional (n).

Kewenangan Propinsi

Kewenangan Propinsi dalam bidang konservasi sangat terbatas.  Hal ini diatur dalam Pasal 3  ayat (5).  Menurut Pasal 3 ayat 5 (Poin 4),  kewenangan Propinsi dalam Bidang Kehutanan yang berkaitan dengan konservasi adalah:
  1. Pedoman penyelenggaraan pembentukan wilayah dan penyediaan dukungan pengelolaan taman hutan raya (e).
  2. Penyelenggaraan pengelolaan taman hutan raya lintas kabupaten/kota (n).
Pernyataan Poin (e) menunjukkan bahwa Propinsi mempunyai kewenangan untuk menyusun pedoman penyelenggaraan pembentukan wilayah taman hutan raya.  Yang dimaksud dengan pedoman adalah acuan yang bersifat umum yang harus dijabarkan lebih lanjut dan dapat disesuaikan dengan karateristik dan kemampuan Daerah setempat.  Propinsi mempunyai kewenangan untuk menyelenggarakan (melaksanakan) pengelolaan taman hutan raya hanya jika taman hutan raya tersebut bersifat lintas kabupaten.  Apabila taman hutan raya tersebut terdapat hanya di satu kabupaten/kota maka penyelenggaraan pengelolaannya menjadi kewenangan kabupaten/kota.  Walaupun demikian Propinsi harus tetap memberikan dukungan terhadap pengelolaan taman hutan raya tersebut.
Mengacu kepada Penjelasan UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 17 ayat (1) maka yang dimaksud dengan pembentukan wilayah taman hutan raya adalah penentuan wilayah hutan (dengan luasan tertentu) yang dapat dikelola secara lestari sebagai taman hutan raya.
Selain itu, kewenangan konservsai juga terdapat dalam bidang Lingkungan Hidup.  Dalam Bidang Lingkungan Hidup Propinsi mempunyai kewenangan dalam pengawasan pelaksanaan konservasi lintas kabupaten/kota. Menurut penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000, yang dimaksud dengan pengawasan adalah pengawasan yang berdasarkan pengawasan represif yang berdasarkan supremasi hukum, untuk memberi kebebasan pada daerah otonom dalam mengambil keputusan serta memberikan peran kepada DPRD dalam mewujudkan fungsinya sebagai badan pengawas terhadap pelaksanaan otonomi daerah.  Menurut UU Nomor 41 tentang Kehutanan Pasal 59, pengawasan kehutanan dimaksudkan  untuk mencermati, menelusuri, dan menilai pelaksanaan pengurusan hutan, sehingga tujuannya dapat tercapai secara maksimal dan sekaligus merupakan umpan balik bagi perbaikan dan atau penyempurnaan pengurusan hutan lebih lanjut.

Kewenangan Kabupaten/Kota

Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah memberikan kewenangan yang luas (meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi) nyata, dan bertanggung jawab kepada Daerah sehingga memberi peluang kepada Daerah agar leluasa mengatur dan melaksanakan kewenangannya atas prakarsa sendiri sesuai dengan kepentingan masyarakat dan masing-masing potensi Daerah.  Kewenangan ini pada dasarnya untuk membatasi kewenangan Pemerintah dan Propinsi.  Pemerintah dan Propinsi  hanya diperkenankan menyelenggarakan kegiatan otonomi sebatas yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000.
            Kewenangan Kabupaten/Kota tidak diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 karena Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 pada dasarnya meletakkan semua kewenangan  pemerintahan pada daerah Kabupaten/Kota, kecuali kewenangan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000.  Uraian di atas menunjukkan bahwa, semua kewenangan (dari penetapan norma, prosedur, kriteria, standar sampai penyelenggaraan) yang berkaitan dengan konservasi berada pada Pemerintah dan Propinsi, sehingga tidak ada lagi kewenangan yang diberikan kepada Kabupaten/Kota. 
            Walaupun demikian, apabila kita menelaah kewenangan yang diberikan kepada Propinsi dalam penyelenggaraan pengelolaan taman hutan raya, pemerintah Kabupaten/Kota memiliki kewenangan untuk mengelola taman hutan raya apabila wilayah taman hutan raya tersebut berada hanya dalam satu wilayah Kabupaten/Kota. 
            Peluang untuk memberikan sebagian wewenang pengelolaan kawasan konservasi kepada pemerintah daerah sebernarnya telah tertuang di dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.  Pasal 66 Undang-undang Nomor 41 1999 menyatakan bahwa:
(1)    Dalam rangka penyelenggaraan kehutanan, pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah.
(2)    Pelaksanaan penyerahan sebagian kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengurusan hutan dalam rangka pengembangan otonomi daerah.
(3)    Ketentuan lebih lanjut sebagimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.
Sesuai dengan penjelasan Pasal 66 tersebut, kewenangan yang diserahkan adalah kewenangan pengurusan hutan yang bersifat operasional.  Kewenangan tersebut dituangkan dalam peraturan pemerintah yang memuat: a) jenis urusan yang kewenangannya diserahkan, b) tatacara dan tata hubungan kerja, c) mekanisme pertanggung jawaban, dan d) pengawasan dan penendalian.  Mengingat kondisi bioeografi dan sosial ekonomi kawasan konservasi dan daerah tempat kawasan konservasi berada berbeda-beda atau bersifat spesifik. Demikian juga, setiap bentuk dan kategori kawasan konservasi mempunyai fungsi dan tujuan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, pemberian wewenang kepada daerah dan peraturan pemerintah yang dibuat juga harus bersifat spesifik, tidak bisa digeneralisir.  Agar peraturan pemerintah yang dibuat dapat diterima dan dilaksanakan oleh kedua belah pihak, maka pembuatan peraturan tersebut harus dilakukan secara bersama-sama (Pemerintah dan Daerah) dengan melibatkan seluruh pihak yang terkait di daerah.  Peraturan seperti ini tentu saja dalam pembuatannya akan lebih banyak memakan waktu, tenaga, dan biaya, tetapi pelaksanaan atau penegakannya akan lebih murah. (Salah satu contoh peraturan yang murah pembuatannya tetapi mahal penerapannya adalah peraturan ketenagakerajaan yang ahir-ahir ini menjadi permasalahan di berbagai daerah).
            Peluang lain untuk meningkatkan peran pemerintah daerah dalam pengelolaan kawasan konservasi adalah melalui tugas pembantuan.  Pasal 13 UU Nomor 22 tahun 1999 menyatakan bahwa Pemerintah dapat menugaskan kepada Daerah tugas-tugas tertentu dalam rangka tugas pembantuan disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumberdaya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertangungjawabkannya kepada Pemerintah.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
  1. Salah satu kelemahan dalam pembangunan dan pengelolaan kawasan konservasi selama ini adalah belum efektifnya kelembagaan sebagai alat manajemen yang antara lain disebabkan oleh 1) penanganan urusan konservasi cenderung sentralistik, sementara kondisi kawasan konservasi di tiap daerah berbeda-beda dan spesifik dan 2) peranan pemerintah daerah dalam kegiatan konservasi sangat minim (Dephutbun 2000).  
  2. Kewenangan pengelolaan konservasi (kawasan konservasi) menurut UU Nomor 22 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 juga masih bersifat sentralistis karena hampir semua kewenangan masih berada pada Pemerintah. 

Saran
  1. Departeman Kehutanan perlu mendorong dan meningkatkan partisipasi pemerintah daerah dalam pengelolaan kawasan konservasi yang telah diproyeksikan dalam ketentuan UU Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang dan UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
  2. Untuk memberikan kewenangan yang lebih luas diperlukan kajian mendalam dan hati-hati tentang apa dan bagaimana kewenangan yang perlu diberikan kepada daerah agar tujuan peningkatan efektivitas pengurusan kawasn konservasi dalam rangka pengembangan otonomi daerah dapat tercapai.

DAFTAR PUSTAKA

Annonimous.  1999.  Undang-undang Otonomi Daerah 1999.  Sinar Grafika.  Jakarta.
__________.  1999.  Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.  Kopkar Hutan.  Jakarta.
Dephutbun.  2000.  Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Perlindungan dan Konservasi Alam Tahun 2000-2004.  Departemen Kehutanan dan Perkebunan Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam.  Jakarta.
Salim, E.  1994.  Pengantar Utama untuk Laporan Hasil Studi Nasional Keanekaragam-an Hayati Indonesia dalam Keanekaragaman Hayati Indonesia.  Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Konsorsium Nasional untuk Pelestarian Hutan dan Alam Indonesia (KONPHALINDO).  Jakarta.
Sekretariat Kabinet RI.  2000.  Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54.
Suhendang, E.  2000.  Fragmentasi Lahan Hutan, Sebuah Ancaman? Diskusi Panel Otonomi Daerah dan Pengelolaan Kehutanan dan Perkebunan.  Diselenggarakan atas Kerjasama PPLH IPB dengan Komite Reformasi Pembangunan Kehutanan dan Perkebunan di Jakarta tanggal 22 Mei 2000.

Tidak ada komentar: