20/09/12

Bedah Novel State of Fear-nya Michael Crichton

Apakah sebuah buku yang menyatakan dirinya sebagai karya nonfiksi layak disandingkan, dan ditimbang dengan sama seriusnya dengan karya akademik (yang serius namun popular)? Menyandingkan novel State of Fear karya Michael Crichton dan The Weather Makers buah pemikiran Tim Flannery jelas punya persoalan yang demikian. 

Crichton: Tidak Ada Pemanasan Global! 
Crichton bagaimanapun adalah seorang penulis cerita fiksi, walaupun dalam setiap novel maupun naskah filmnya ia selalu menggunakan perkembangan ilmu pengetahuan mutakhir sebagai dasar cerita. Andromeda Strain meminjam berbagai fakta astronomi, Prey menggunakan berbagai perkembangan teknologi nano, Time Machine dan Sphere memanfaatkan teori relativitas khususnya mengenai perjalanan antarmasa. Namun, sepertinya dalam novelnya yang terakhir ini, ia tidak saja memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk menarik perhatian pembaca. Lebih jauh, ia juga sengaja
memilih sebuah tema pengetahuan yang banyak dianggap kontroversial: pemanasan global. Yang paling hebat dari itu semua, dalam novel itu ia menantang konsensus “jumhur” ilmuwan yang meyakini bahwa pemanasan global sebagai akibat antropogenik dari dilepaskannya gas rumah kaca ke atmoser. Dalam upaya menantang konsensus itu, ia bahkan mendiskreditkan organisasi lingkungan yang digambarkannya rela memanipulasi data dan menggunakan sumberdaya yang dimilikinya untuk membuat sebuah ledakan nuklir yang besar —untuk membuat bencana tsunami— bersamaan dengan konferensi terpenting mengenai pemanasan global. Untuk apa? Agar seluruh dunia percaya bahwa pemanasan global bukanlah teori, melainkan realitas dan dengan demikian maka curahan dana akan terus mengalir kepada organisasi lingkungan. 

Tapi bukankah itu semua merupakan karya fiksi? Sama halnya seperti Da Vinci Code, novel ini mengklaim pendirian yang disampaikan pengarangnya memiliki dasar-dasar kebenaran. Crichton bahkan menggunakan kutipan-kutipan langsung dari berbagai jurnal ilmiah untuk mendukung pendiriannya. Tidak lupa, di bagian belakang novelnya terdapat lampiran yang menjelaskan bagaimana pendiriannya mengenai masalah pemanasan global, dilengkapi dengan bibliografi yang diberi catatan yang dinyatakannya sebagai hasil dari tiga tahun mempelajari sumber-sumber pustaka mengenai pemanasan global. 

Yang menjadi masalah besar adalah bahwa pendirian tersebut telah mempengaruhi banyak sekali orang. Popularitas novel ini benar-benar hebat, dan bagaimanapun akan punya pengaruh besar dalam membuat orang meragukan pemanasan global karena gayanya yang quasi ilmiah. Di Amerika Serikat, novel ini bahkan dipergunakan oleh komisi yang dipimpin oleh Senator James Inhofe dalam upayanya melawan RUU Energi McCain dan Lieberman. Inhofe benar-benar percaya 100% atas kebenaran pendirian Crichton sehingga sang novelis pun dihadirkan dalam dengar pendapat sebagai ahli mengenai palsunya pemanasan global. 

Dengan kualifikasi seperti itu, tentu State of Fear layak dipertimbangkan untuk ditanggapi serius. Pencarian dengan google menghasilkan 799.000 entri —bandingkan dengan karya serius Flannery yang “hanya” menghasilkan 267.000— yang merupakan entri tertinggi dibandingkan sumber manapun tentang pemanasan global. Untungnya, di antara puja dan puji terhadap novel ini, masih banyak pula kritik yang tajam yang ditulis oleh para ilmuwan lingkungan. Gavin Schmidt dari Earth Institute menulis Michael Crichton’s State of Confusion; Alan Miller yang merupakan Principal Environmental Officer di International Finance Corporation menulis Bad Fiction, Worse Science; dua profesor fisika Gregory Benford dari Universitas California at Irvine serta Martin Hoffert dari New York University bersama-sama menulis On Climate Change, Fear of Reason; David Sandalow dari the Brookings Institution membuat Michael Crichton and Global Warming; dan masih banyak lainnya termasuk banyak lembaga ilmiah menyatakan sikap resminya atas novel Crichton. Banyak di antaranya menyatakan ini merupakan kali pertama mereka menanggapi sebuah karya fiksi. 

Di antara hal-hal yang paling penting yang dikomentari adalah bahwa Crichton —dengan sengaja atau karena kebodohannya— telah salah membaca data. Bagaimana mungkin himpunan data yang sama menghasilkan kesimpulan yang berbeda? Empat lembaga paling penting di Amerika Serikat yaitu The National Academy of Sceinces, The American Geophysical Union, The American Meteorological Society dan Intergovernmental Panel on Climate Change—yang disebut belakangan ini menjadi bulan-bulanan Crichton —telah mengeluarkan pernyataan resmi bahwa perubahan iklim global memang tengah terjadi (lihat www.ucsusa.org). Apakah kemudian orang akan memilih mengikuti novelis yang mengaku telah membaca banyak sekali artikel ilmiah mengenai masalah itu selama tiga tahun? Entahlah, yang jelas Senator Inhofe, serta seluruh pemerintahan George W. Bush tampaknya demikian. Dan ketika penguasa memilih yang demikian, maka dampaknya tentu saja sangat besar. 

Salah satu kesalahan pembacaan itu berkaitan dengan grafik buatan Dr. Jim Hansen yang interpretasinya ia sampaikan di depan Kongres Amerika Serikat di tahun 1988. Crichton menyatakan bahwa “Dr. Hansen overestimated global warming by 300 percent”



Penyataan Dr. Hansen memang merupakan salah satu titik tolak paling penting yang menjadikan pemanasan global sebagai salah satu isu lingkungan terpanas. Namun itu sesungguhnya tidak dikarenakan ia melebih-lebihkan ramalannya hingga 300 persen. Pada paparannya, Dr. Hansen hanya menampilkan Skenario B, dan menyatakannya sebagai skenario yang paling mungkin, dengan asumsi bahwa pada tahun 1995 terjadi letusan gunung yang besar. Kenyataannya Gunung Pinatubo meletus pada tahun 1991 dan Skenario B berhasil meramalkan secara tepat bahwa peningkatan suhu global adalah sekitar 0,11 derajat Celsius/dekade. Gavin Schmidt mencatat bahwa orang yang melontarkan tuduhan kotor pada Dr. Hansen adalah Patrick Michaels yang dalam kesaksiannya di depan Kongres sepuluh tahun setelah Dr. Hansen menghilangkan Skenario B dan C untuk memberikan kesan bahwa model mengenai pemanasan global tidaklah reliabel.

Banyak kesalahan ilmiah lain yang dimunculkan oleh Crichton. Dua cara membantah kaitan antara emisi CO2 dengan peningkatan suhu yang digunakan Crichton adalah dengan menyatakan bahwa (1) terdapat banyak tempat di dunia, termasuk yang kadar CO2nya tinggi yaitu perkotaan, yang mengalami penurunan suhu, dan (2) walaupun tingkat CO2 terus meningkat, namun pada dekade 1940an hingga 1970an sebetulnya terjadi penurunan suhu. Sesungguhnya, siapapun yang pernah sedikit mempelajari masalah klimatologi akan mudah menjawab masalah ini. Para ilmuwan yang menyatakan adanya pemanasan global tidaklah mengklaim bahwa setiap tempat di permukaan Bumi ini mengalami peningkatan suhu yang sama, melainkan secara rata-rata seluruh permukaan itu memang meningkat. Penurunan suhu partikular tidak membatalkan fakta bahwa secara universal suhu memang meningkat. Mereka juga tidak pernah menyatakan bahwa satu-satunya penentu suhu permukaan Bumi adalah kadar CO2 dalam atmosfer. Letusan gunung, variabilitas matahari, emisi sulfur dioksida serta pergeseran orbit bumi —di antara yang lainnya— punya peran dalam menghasilkan suhu permukaan Bumi. Kombinasi faktor-faktor antropogenik dan alamiah memang berperan, dan para ilmuwan tidak berhasil menerangkan apa yang terjadi di sepanjang abad 20 hingga sekarang dengan hanya melihat faktor alamiah saja. Masalahnya, sangat kecil proporsi orang di dunia ini yang pernah terpapar pada pengetahuan dasar klimatologi. Dalam dunia seperti itu, Crichton dengan novelnya bisa punya pengaruh besar.

Flannery: Kelihatannya Kita Sedang Menuju Kiamat, Kecuali... 
Ketika Dr. Bruce Beehler —salah seorang Direktur Conservation International, pemimpin ekspedisi Pegunungan Foja, dan Tim Flannery—d itanya mengenai pendapatnya berkenaan dengan buku  itu, ia mengatakan bahwa mungkin saja beberapa orang akan memutuskan untuk bunuh diri setelah membacanya. Dr. Beehler menyatakannya secara bercanda, namun intinya adalah bahwa buku Flannery itu memang berisi banyak fakta dan interpretasi mengerikan seputar pemanasan global. Dan, intinya, bahwa manusia lah yang menyebabkan itu semua, entah melalui tindakan-tindakan individu yang tidak menyadari konsekuensi dari apa yang dilakukannya atau keputusan-keputusan pemerintah dan bisnis yang sebetulnya punya akses terhadap informasi yang lebih kaya. Yang ia sebut “the Weather Makers” adalah umat manusia yang tindakannya telah menyebabkan perubahan iklim global.

Dalam salah satu tur promosi bukunya, terpampang sebuah poster besar yang menyatakan bahwa Tuhan menciptakan alam semesta, namun iklim kini diciptakan oleh manusia. Kalau novel Crichton dibaca terlebih dahulu, tiga puluh lima bab yang dihadirkan Flannery akan sangat terasa menjadi jawaban atas keraguan yang ditimbulkan setelah membaca novel itu. Lima bagian besar menjadi kerangka untuk bab-bab tersebut, masing-masing Gaia’s Tools; One in Ten Thousand; The Science of Prediction; People in Greenhouses; dan The Solution, yang kemudian diikuti dengan sebuah Postscript; Climate Change Checklist; dan Green Power.

Dalam bagian pertama —sebagaimana diduga oleh siapapun yang akrab dengan hipotesis Gaia ciptaan James Lovelock— Flannery menyatakan bahwa Bumi adalah organisme tunggal yang hidup, dan atmosfer adalah organ tubuh Bumi yang menjalankan fungsi interkoneksi dan regulasi suhu. Mungkin tak banyak hal yang baru di sini, termasuk bahwa tanpa gas-gas rumah kaca sesungguhnya Bumi ini terlalu dingin untuk dapat ditinggali, khususnya oleh manusia.

Bagian kedua menjelaskan banyak sekali contoh bahwa di masa lalupun sesungguhnnya perubahan iklim dalam skala kecil juga telah menyebabkan efek yang dahsyat pada spesies-spesies tertentu, termasuk kepunahannya, misalnya yang ia nyatakan di bab A Warning from the Golden Toad. Secara sangat jenaka, ia memilih bertanya “No home for Santa?” untuk menjelaskan dampak menghilangnya es dari wilayah kutub. Tentu saja, walaupun Santa Clause hanya ada dalam alam khayal (benarkah?), banyak sekali spesies yang kehidupannya sangat tergantung pada keberadaan kutub.

Untuk mereka yang berpikir bahwa prediksi mengenai iklim di masa mendatang tidaklah mungkin—atau sangat sulit—dilakukan, Flannery menyajikan pandangannya pada bagian ketiga. Pemodelan komputer hingga kini telah berhasil menjelaskan berbagai peristiwa perubahan iklim yang terjadi di masa lampau dengan tingkat akurasi yang tinggi. Namun, mengapa ketika diterapkan ke masa depan model yang sama gagal memprediksi dengan akurat? Sebagai misal, mengapa prediksi-prediksi yang dibuat antara dekade 1960an dan 1970an ternyata kemudian terbukti tidak tepat. Seakan menjawab Crichton, Flannery menjelaskan bahwa manusia —selain membuang CO2— juga menghasilkan aerosol dan membuangnya ke atmosfer. Di atmosfer aerosol meningkatkan refleksivitas sehingga cukup banyak panas matahari yang terkirim balik. Penjelasan ini kerap diberi nama global dimming dan telah memotong dampak pemanasan global akibat CO2 sebanyak sepertiganya. Bagaimanapun, ramalan yang lebih mutakhir telah memasukkan jauh lebih banyak faktor sehingga reliabilitasnya pun meningkat.

Bagian selanjutnya bercerita mengenai berbagai inisiatif yang telah dijalankan umat manusia untuk mengatasi pemanasan global. Yang paling terkenal tentu saja Protokol Kyoto. Terkenal sebagai upaya kolektif terbesar dan juga terkenal karena penentangan beberapa negara penghasil gas rumah kaca terbesar, di antaranya Amerika Serikat (tentu saja!) dan Australia (negara dari mana Flannery berasal). Flannery memang mengakui bahwa Protokol tersebut memang memiliki sejumlah kelemahan, termasuk di dalamnya target yang keterlaluan rendahnya untuk mengatasi masalah sebesar pemanasan global. Kalau hendak lebih serius, menurut Flannery, maka targetnya seharusnya dibuat dua belas kali lipat dari yang sekarang disetujui. Tentu saja, hal itu akan sangat sulit diterima. Dengan target serendah itu saja beberapa negara di bawah kepemimpinan Amerika Serikat saja sudah menolak untuk mengikatkan diri ke dalamnya.

Penolakan atas Protokol tersebut dijelaskan sebagai akibat dari ketakutan berlebih dari perusahaan-perusahaan multinasional atas dampak pemberlakuannya. Dave Munger, mengomentari positif buku Flannery dalam Undeniable Evidence di www.esposito.typepad.com, menyatakan bahwa Amerika Serikat sama sekali tidak pernah melakukan kajian yang serius mengenai apakah benar pertumbuhan ekonomi akan menanggung surut yang luar biasa besar kalau Amerika Serikat ikut serta dalam Protokol tersebut. Munger mencatat bahwa Pemerintahan Bill Clinton menghitung beban ekonomi sebesar 1 milyar dolar pertahun, sementara Departemen Energi mereka sendiri menyatakan bebannya adalah 378 milyar dolar untuk kurun waktu yang sama. Padahal, ada banyak contoh dari Flannery di mana pengurangan gas rumah kaca dari produksi malahan menghasilkan keuntungan ekonomi, seperti pada kasus Nortel yang setelah mengikuti Protokol Montreal mengeluarkan investasi 1 juta dolar untuk peralatan baru, dan akhirnya berhemat 4 juta dolar karena biaya untuk pengolahan limbah dan pembelian CFC yang turun drastis.

Flannery juga membahas mengenai Contraction and Corvergence, sebuah inisiatif yang didasarkan pada kepecayaan bahwa seharusnya setiap orang memiliki hak yang sama untuk membuang emisi, dan karenanya mereka yang membuah lebih banyak harus membeli hak emisi tersebut dari mereka yang masih memiliki sisa hak itu. Namun, sama dengan Protokol Kyoto, inisiatif tersebut juga sangat mungkin terganjal oleh kepentingan ekonomi: “Among its potential downsides is the initial cost to industrialized countries.

Resep untuk keluar dari kondisi yang mengerikan ini utamanya adalah dengan jalan mengubah bagaimana listrik diproduksi. Hingga kini, pembangkit listrik yang menggunakan batu bara bertanggung jawab atas sedikitnya dua pertiga emisi CO2. Karenanya, tidak mengherankan pula kalau industri batu bara lah yang paling keras mempengaruhi pemerintah Amerika Serikat untuk tidak ikut Protokol Kyoto —misalnya dengan mendonasikan 41 juta dolar lewat jalur resmi saja ke kampanye kedua Bush. Energi alternatif dari angin dan matahari sangat penting untuk ditingkatkan penggunaannya kalau emisi CO2 hendak dikurangi secara drastis. Penggunaan energi nuklir juga didiskusikan Flannery, di mana ia tampak menerima dengan hati-hati karena masalah keamanan dan pembuangan limbahnya. Di tingkat individu ia menuliskan bab Over to You yang membahas bagaimana setiap orang dapat berkontribusi.

Secara keseluruhan cerita mengenai pemanasan global yang ada dalam buku ini membuat siapapun yang membacanya merasa menguasai masalah ini dengan instan (tidak perlu membaca tumpukan jurnal selama tiga tahun, sebagaimana yang dilakukan Crichton!). Pembacanya juga akan terinspirasi untuk mengurangi “kejahatan karbon” dengan melakukan banyak hal yang dipreskripsikannya. Kelebihan lainnya, pilihan kata-kata Flannery sangat indah dan persuasif, sehingga pembaca tidak terasa sedang berhadapan dengan teks ilmiah yang serius. Seorang penimbang buku ini yang anonim (lihat www.epinions.com) dengan tepat menggambarkan bahwa Flannery adalah “passionately proselytizing prophet provides poetic predictions.” Kalau ada yang mengganggu dari karya Flannery ini, ia tampaknya belum berhasil untuk membuat sebuah peta jalan yang benar-benar dapat dilaksanakan untuk mengurangi kebebalan dunia industri dan pemerintah negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat. Kalau penghasil sebagian besar emisi tidak dapat dibujuk atau ditekuk, adakah harapan bagi umat manusia? Itulah mungkin mengapa Dr. Beehler menyatakan bahwa buku ini mungkin mendorong orang untuk bunuh diri.

Ilmu Pengetahuan dan Lingkungan: Sayangnya Memang Tak Selalu Beriring 
Setelah membaca kedua buku, pertanyaan yang menarik untuk diajukan adalah apakah ilmu pengetahuan memang entitas yang reliabel sebagai sahabat lingkungan. Hal ini dalam berbagai literatur sosiologi lingkungan merupakan subjek kajian yang tak henti-hentinya menimbulkan perdebatan. Kiranya, kita dapat menarik manfaat dari perdebatan kubu Steven Yearley serta Luke Martell dalam masalah ini.

Yearley merupakan ilmuwan yang berpendirian bahwa ilmu pengetahuan bukanlah sahabat yang cukup dan bisa diandalkan oleh lingkungan. Dalam karya terkenalnya The Green Case (pertama kali terbit 1991), ia menyatakan lima butir argumen untuk mendukung kesimpulannya.

Argumen pertama adalah bahwa hampir seluruh permasalahan lingkungan yang dihadapi oleh masyarakat modern merupakan hasil dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penggunaan pestisida, CFC, energi nuklir, pertambangan mineral dan sebagainya merupakan hasil interaksi antara kebutuhan manusia dan rekomendasi ilmu pengetahuan untuk memenuhinya. Pada awalnya memang tampak bahwa rekomendasi itu merupakan jalan keluar yang memadai, namun belakangan ditemukan bahwa jalan keluar itu ternyata juga merupakan jalan masuk dari berbagai masalah yang tak pernah diduga sebelumnya. Pestisida misalnya, hampir-hampir diganjar Hadiah Nobel sebelum akhirnya malahan buku Rachel Carson Silent Spring meratapi dampak negatifnya.

Argumen kedua adalah bahwa rombongan ilmuwan yang berada dalam kubu industri jumlahnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan mereka yang memilih untuk berada dalam kubu gerakan lingkungan. Hal ini seakan membuktikan bahwa sesungguhnya ilmu pengetahuan modern pada dasarnya memiliki pandangan yang eksploitatif terhadap lingkungan, sekaligus memiliki sikap instrumental yang hanya melayani kepentingan itu.

Argumen ketiga menyatakan bahwa ilmu pengetahuan kerap kali dikemudian hari terbukti tidak benar dan atau tidak lengkap, sehingga ilmuwan pencetusnya atau ilmuwan lain kerap kali harus menarik kembali kesimpulan yang sudah dikeluarkan sebelumnya, atau bahkan tidak dapat mengambil sikap sama sekali dalam suatu kasus. Menurut Yearley, sangatlah sering ilmuwan tidak dapat bersikap ketika sumberdaya yang dikuasainya terbatas, informasinya kurang, ataupun karena kompleksitas dan tak teramatinya fenomena lingkungan.

Argumen keempat menyatakan bahwa para ilmuwan juga sering berselisih pendapat atas interpretasi yang bersumber pada data yang sama. Hal ini diperparah dengan keyakinan bahwa ilmu pengetahuan tidaklah dapat membuat klaim epistemologi mengenai kepastian. Terakhir, ilmu pengetahuan saja tidak pernah cukup untuk membuat keputusan mengenai tindakan konservasi atau rehabilitasi lingkungan, melainkan harus juga melibatkan pertimbangan moral dan juga politik praktis.

Menanggapi butir-butir argumen itu, Martell dalam Ecology and Society (terbit 1994) melihat adanya tiga hal yang membuatnya keberatan dengan kesimpulan Yearley. Pertama adalah bahwa ilmu pengetahuan jugalah yang menemukan seluruh permasalahan lingkungan yang sekarang kita kenal. Penipisan ozon, perubahan iklim global, hujan asam, menyusutnya keanekaragaman hayati dan sebagainya merupakan temuan ilmiah. Jadi, walaupun ilmu pengetahuan tidaklah bisa dianggap memadai, namun hanya lewat ilmu pengetahuanlah permasalahan lingkungan dapat diketahui. Kedua, Martell mengakui bahwa ilmu pengetahuan modern memang terlalu banyak melayani kepentingan industri, terutama untuk prioritas keuntungan ekonomi. Namun demikian, yang sebenarnya menjadi masalah adalah struktur pasar serta struktur politik modern yang mendukunganya, bukan sifat dasar dari ilmu pengetahuan itu sendiri. Tunduknya ilmu pengetahuan sekarang terhadap rasionalitas ekonomi merupakan hal yang dapat dipilih, dan bukan sebuah kepastian. Karakteristik dasar dari ilmu pengetahuan seperti pengukuran, prediksi maupun kontrol teknis sesungguhnya dapat dipergunakan untuk kepentingan konservasi dan rehabilitasi lingkungan. Dalam hal ini, kontrol teknis merupakan subjek dari prioritas ekonomi dan keputusan politik. Kalau saja ekonomi dan politik dominan berpihak pada kelestarian lingkungan, maka hasil ilmu pengetahuan bisa berbeda sama sekali dengan wajah dominannya sekarang.

Dari keduanya, kesimpulan terakhir dari Martell adalah bahwa ilmu pengetahuan bukanlah musuh alami dari lingkungan. Sebaliknya, ilmu pengetahuan sangat dibutuhkan untuk mendefinisikan masalah lingkungan serta mencari jalan keluarnya. Karenanya upaya-upaya yang hendak menciptakan genre ilmu pengetahuan yang baru, seperti yang banyak diupayakan oleh kalangan ilmuwan tertentu, sesungguhnya tidaklah diperlukan karena ilmu pengetahuan yang ada sekarang sudah dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembelaan terhadap lingkungan. Melihat kedua kubu itu, kita dapat menyatakan bahwa ilmu pengetahuan memang memiliki hubungan yang ambigu dengan lingkungan. Yang jelas, memang terdapat peluang penggunaan ilmu pengetahuan untuk kepentingan pelestarian lingkungan dan sudah seharusnya pula para ilmuwan yang pro lingkungan mengupayakan diri untuk menjadi komplemen bagi seluruh entitas yang memiliki tujuan yang sama.

Para Ideolog Gedung Putih sebagai Pangkal Kerumitan 
James Gustave Speth, Dekan School of Forestry and Environmental Studies Universitas Yale, pernah menanyakan “...why American conservatives do not more actively conserve...” dalam bukunya Red Sky at Morning. Banyak ilmuwan lain malahan sudah memiliki jawaban yang pasti bahwa harapan agar pemerintah Amerika Serikat di bawah Bush menjadi lebih baik dalam hal pengelolaan lingkungan adalah harapan yang kosong.

Pertanyaan mengenai kaitan antara Pemerintah Amerika Serikat dengan lingkungan memang telah menjadi pertanyaan klasik. MacDonald dalam Environment: Evolution of a Concept (2003) bahkan menyatakan bahwa perubahan pemahaman mengenai lingkungan sejak Perang Dunia II memang sangat ditentukan oleh dinamika politik Gedung Putih. Menurutnya, apakah “green house effect” akan menjadi isu yang diterima banyak kalangan tergantung dari “White House effect” terhadap masalah itu.

Akhir tahun lalu di Buenos Aires, Pemerintah Amerika Serikat kembali mengumumkan bahwa mereka tidak akan mengubah pendekatannya mengenai perubahan iklim. Kengototan itu bahkan ditambahi dengan pernyataan bahwa Protokol Kyoto tidaklah didukung oleh fakta ilmiah mengenai pemanasan global, melainkan lebih didasarkan pada politik (persis suara Crichton, bukan?). Beberapa alasan lain dikemukakan oleh Pemerintahan Bush, seperti bahwa mereka juga telah menginvestasikan milyaran dolar untuk mengembangkan teknologi baru yang mengurangi emisi, selain mendesakkan pemikiran bahwa negara-negara berkembang seharusnya tidak diistimewakan dalam Protokol tersebut. Namun, apapun yang dikatakan oleh Pemerintahan Bush sebagai alasan, berbagai bukti ilmiah sesungguhnya telah diproduksi dan dipergunakan sangat baik oleh para pendukung Protokol Kyoto. Yang paling mengherankan, bukti-bukti ilmiah itu sebagian besar diproduksi oleh para ilmuwan Amerika Serikat, termasuk empat lembaga besar yang disebutkan di atas.

Masalahnya, sebagaimana yang diakui oleh Speth, Pemerintahan Bush dan beberapa di antara pendahulunya kerap memilih untuk mempercayai —lebih tepat: menggunakan dan menyebarkan—informasi yang membuat mereka nyaman saja. Sehingga, walaupun seluruh peneliti lingkungan yang paling kredibel sekalipun menyatakan bahwa pemanasan global dan berbagai permasalahan lingkungan lain memang terjadi, pemerintahan Bush tetap saja bergeming dan berlindung di balik segelintir saja pernyataan ilmuwan yang memberi perasaan nyaman. Bjorn Lomborg dan Thomas Homer-Dixon adalah dua yang paling penting di antara pemberi rasa nyaman itu.

Lomborg menulis The Skeptical Environmentalist pada 2001, seorang ahli statistika dari Denmark, dengan berani mendeklarasikan bahwa sesungguhnya keadaan dunia ini jauh lebih baik dibandingkan apa yang selama ini kerap dikemukakan oleh kebanyakan ahli lingkungan. Juga, alih-alih memburuk, secara rataan kondisi Bumi malahan menunjukkan perbaikan yang menggembirakan. Dalam setiap bab bukunya yang dipenuhi angka dan grafik ia menantang seluruh ramalan buruk yang selama ini mendominasi pembicaraan mengenai lingkungan. Karena kandungan data yang memukau serta analisisnya, Lomborg dengan cepat menarik minat banyak pihak, terutama mereka yang selama ini dianggap berkontribusi besar pada perusakan lingkungan, tidak terkecuali Pemerintahan Bush. Lomborg pula, sebagaimana yang diakui oleh Crichton, adalah pemberi inspirasi utama State of Fear.

Yang mungkin tidak dibaca oleh para pembantu Bush adalah bahwa buku tersebut belakangan menuai banyak sekali kritikan. Karena pendekatan statistiknya, maka Lomborg sangat tidak sensitif terhadap hal-hal lain yang sesungguhnya sangat penting. Dalam masalah air misalnya, pernyataan Lomborg bahwa “…basically we have enough water” sesungguhnya sangat membahayakan. Memang secara global jumlah air yang tersedia masih sangat mencukupi, namun kalau kemudian ditimbang dengan fakta bahwa disparitas dalam sediaan air antarwilayah adalah sangat besar, maka masalah air bersih bukanlah isapan jempol. Peter Gleick (lihat Is the Skeptic All Wet?, 2002), pakar terkemuka mengenai air, menulis bahwa ratusan juta warga Cina dan India mengalami masalah sediaan air bersih, dan ini tidak ada kaitannya dengan sediaan air bersih global. Lomborg yang merasa nyaman menyatakan bahwa ’hanya’ tujuh spesies burung yang punah selama hutan Puerto Rico diteliti sejak puluhan tahun lampau, jelas tidak memiliki pemahaman sebaik Douglas Kysar dalam Some Realism about Environmental Skepticism (2003) bahwa tujuh spesies itu tidak dapat ditemukan di bagian dunia lain.

Homer-Dixon adalah ilmuwan politik asal Kanada, namun bisa duduk bertahun-tahun menjadi penasehat lingkungan Gedung Putih. Bukan karena apa-apa, namun karena pemikirannya pengenai konflik atas lingkungan sangatlah membuat Gedung Putih dengan nyaman dapat meneruskan kebijakan-kebijakannya mengenai investasi industri ekstraktif di negara-negara berkembang.

Betapa tidak? Homer-Dixon (Environment, Scarcity and Conflict, 1999) menunjuk bahwa biang seluruh permasalahan lingkungan adalah kelangkaan sumberdaya alam yang terbarukan dan yang menjadi penyebab utama kelangkaan itu adalah pertumbuhan penduduk yang cepat. Hal inilah yang menurut Homer-Dixon menjadi penjelas mengapa konflik atas lingkungan lebih sering terjadi di negara-negara berkembang yang memiliki angka pertumbuhan penduduk yang tinggi, dan jarang terjadi di negara-negara maju yang pertumbuhannya rendah, nol atau bahkan negatif. Lebih lanjut, ia juga menyatakan bahwa untuk mengatasi kelangkaan, sesungguhnya diperlukan ide-ide yang brilian dan sayangnya ide-ide seperti itu tidak dimiliki oleh negara-negara berkembang, dan karenanya negara-negara maju memiliki ‘beban’—dikenal sebagai white men’s burden —untuk mengajari mereka. Negara-negara maju, menurut Homer-Dixon, bersih dari dosa atas lingkungan. 

Pada kenyataannya, sejumlah besar penelitian telah membuktikan bahwa konflik juga sering disebabkan oleh perebutan atas sumberdaya alam tak terbarukan seperti mineral dan migas. Philipe Le Billon dalam The Political Ecology of War (2001) menemukan bahwa sumberdaya tak terbarukan bukan saja membiayai konflik, namun juga memotivasi konflik bahkan menentukan pembentukan strategi penguasaan atasnya oleh banyak pihak termasuk entitas bisnis dan pemerintah asing.

 Nancy Peluso dan Michael Watts dalam Violent Environments (2001) membantah pernyataan bahwa pertumbuhan penduduklah yang menyebabkan kelangkaan sumberdaya alam. Kelangkaan, menurut mereka, jauh lebih dekat hubungannya dengan konsumsi perkapita penduduk. Dalam hal ini, tentu saja diketahui bahwa konsumsi perkapita penduduk negara-negara maju jauh lebih besar dibandingkan konsumsi mereka yang tinggal di negara-negara berkembang. Melalui mekanisme pasar, penduduk negara-negara maju mengkonsumsi sumberdaya negara-negara berkembang.

Dengan tingkat konsumsi yang demikian, penduduk negara-negara maju juga menghasilkan sampah—termasuk emisi gas rumah kaca—yang jauh lebih besar dibandingkan mereka yang tinggal di negara berkembang. Amerika Serikat kini menghasilkan emisi gas rumah kaca tiga kali lipat dibandingkan mereka yang tinggal di Eropa dan lebih dari seratus kali lipat dibandingkan mereka yang tinggal di negara-negara berkembang. Stuart Hart pernah menyatakan bahwa kalau seluruh penduduk Bumi ini tingkat konsumsinya sama dengan rataan warga Amerika Serikat, maka diperlukan tiga Bumi untuk memenuhinya!

Tentang keharusan negara-negara maju mengajari bagaimana negara-negara berkembang mengatasi kelangkaan sumberdaya alam, para analis pascakolonial kerap menyatakan bahwa hal itu adalah akal-akalan saja untuk menguasai sumberdaya alam itu. Akal-akalan atau tidak, yang jelas proses pengajaran itu memang membuka banyak peluang yang menguntungkan para ‘pengajar.’ Sesungguhnya, moda berpikir Lomborg dan Homer-Dixon—yang semakin dilambungkan kepopularannya oleh Crichton—selain membahayakan nasib Bumi, pada gilirannya juga membahayakan seluruh kepentingan bisnis Amerika Serikat di negara-negara berkembang. Kini tidak ada pilihan selain memperhatikan lingkungan dalam berbisnis, sebagaimana yang telah disadari dunia bisnis melalui beragam inisiatif tanggung jawab sosial perusahaan. Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, yang menjadi tujuan investasi Amerika Serikat di sektor ekstraktif haruslah bersikap tegas dalam hal ini.

 ****
Perang pemikiran, kalau boleh dikatakan demikian, ala Crichton, dkk. versus Flannery, dkk. sesungguhnya hanya lapisan terluar saja dari permasalahan ekologi politik perebutan sumberdaya alam. Crichton adalah penabuh genderang perang, Bush adalah salah satu jenderalnya. Mungkin banyak pihak akan ngeri kalau menyadari bahwa di sisi yang lain, cukup banyak pula penabuh genderang, seperti Flannery, tapi sang jenderal belum juga tampak.

1 komentar:

Ratu Cindya mengatakan...

Keren artikelnya. Saya juga benar2 terpukau sama karyanya yg state of fear ini. Kunjung balik ya ke redpopcornqueen.blogspot.com :))