02/12/12

Sebagai "KATANYA" Rimbawan

Seorang rimbawan di kaki gunung Ciremai,
Rimbawan merupakan sebutan bagi seseorang yang memiliki profesi bidang kehutanan yang menguasai dan memahami ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperlukan dalam profesi kehutanan (Suhendang, 2002). Dengan kata lain, rimbawan adalah seseorang yang mempunyai pendidikan kehutanan. Jelas, dalam pengertian ini rimbawan ditempatkan sebagai sebuah profesi. 

Profesi yang jika dicarikan penyetaraannya, adalah analogi yang sempurna bila disejajarkan dengan profesi dokter atau akuntan. Sebagai bentuk konsekuensi dari sebuah profesi, maka profesi menuntut adanya tanggung jawab. 

Akan muncul pertanyaan. Hal apa yang telah secara konkrit kita lakukan terhadap profesi ini? Apa wujud jati diri profesi rimbawan yang kita emban? Konsep profesionalisme memiliki karakteristik yang ditampakkan oleh kemampuan individu dalam hal skill, kompetensi, dan etika moral. 

Wujud pelaksanaan sebuah profesionalisme, bukan terbatas pada sertifikasi atas profesi rimbawan, melainkan bentuk tumbuh kembang individu secara menyeluruh, meliputi ketiga karateristik tersebut. 


Sertifikasi merupakan sebuah bentuk pengakuan. Di banyak negara pengakuan terhadap profesi rimbawan memang sudah lama dilakukan, tetapi di Indonesia hal itu belum terwujud secara sempurna. Sertifikasi profesi rimbawan telah dikembangkan di Australia dan Amerika. Di Australia terdapat skema Registered Professional Forester (RPF) yang dikelola oleh Institut Rimbawan Australia (Institute of Forester of Australia-IFA). Skema ini diarahkan untuk memberikan pengakuan terhadap bidang-bidang keahlian khusus; memberikan jaminan kualitas, keahlian, dan pengalaman; serta memberikan jaminan bahwa para rimbawan yang telah terdaftar mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang 'up-to-date' melalui pemenuhan berbagai persyaratan untuk pengembangan profesional yang berkelanjutan. 

Di Amerika terdapat program Certified Forester (CF) yang diselenggarakan oleh Society of American Foresters (SAF). Sertifikasi ini bersifat sukarela, non-pemerintah, dan terbuka bagi anggota SAF dan bukan anggota yang memenuhi persyaratan. Program ini bertujuan menetapkan standar kinerja yang baik untuk para rimbawan yang meliputi pengalaman, pengetahuan, dan dedikasi terhadap profesi rimbawan. 

Sekali lagi, sertifikasi lebih kepada sebuah pengakuan semata, yaitu pengakuan atas pelaksanaan peker-jaan profesi. Hal itu dicirikan oleh adanya pengakuan terhadap pengalaman profesional; persyaratan akademis dan lembaga pendidikan profesi; standar praktisi profesional; penghargaan terhadap pendidikan lanjutan; dan kemampuan untuk melewati penilaian yang ketat atas pengetahuan dan keterampilan profesional. 

Namun pada kenyataannya, rimbawan tetap harus mampu menumbuhkan kehormatan, kebanggaan, dan harga diri rimbawan; dan mampu menumbuhkan kepercayaan dan kepuasan masyarakat atas profesi yang diemban. 

Jadi, ternyata tidak cukup hanya dengan sebuah pengakuan. Kondisi hutan dan kehutanan saat ini telah menjadi perhatian utama dunia. Hutan dianggap satu-satunya unsur yang dapat menahan laju perubahan iklim global dan pemanasan suhu bumi. Kenyataan itu mendorong banyak pihak untuk masuk ke dalam domain hutan dan kehutanan. Hampir di setiap kegiatan kemasyarakatan yang diadakan saat ini, menyisipkan kata-kata “green” sebagai perlambang perhatian terhadap hutan. Keadaan ini sebenarnya menggambarkan betapa banyak orang ingin menjadi rimbawan. Sebuah slogan penyelamatan lingkungan bahkan menyerukan “Everyday is Earth Day for Forester”. Semua orang ingin menyelamatkan lingkungan, semua orang ingin menjadi rimbawan, everyone wants to be a forester. Ini adalah era Foresterization. Akan tetapi, apa yang terjadi bila pada kenyataannya para rimbawan yang sesungguhnya justru tidak mengenal jati dirinya sendiri?

Sebagai seseorang yang mengaku rimbawan, sampai di mana sebenarnya kita memaknai arti kata rimbawan? Dimensi internal sebuah jati diri adalah keterkaitan kekuatan hati dan suasana batin yang bila kita sandangkan, dapat meninggikan derajat kemanusiaan kita. Derajat kemanusiaan ini terkait dengan unsur kehormatan, kebanggaan, dan harga diri. Bila kita memandang jati diri kita, baik sebagai rimbawan, PNS, maupun sebagai manusia, kesadaran yang muncul akan menimbulkan sebuah autohipnosa batin untuk menumbuhkan kehormatan, kebanggaan, dan harga diri.

Rimbawan adalah manusia, mahluk yang paling tinggi derajatnya di muka bumi. Manusia sebagai ciptaan-Nya yang paling sempurna. Demikian pula rimbawan. Menjadi rimbawan adalah sebuah kehormatan yang harus disandang dengan kesadaran manusiawi. Kesadaran itu harus membuat kita merasa sangat malu bila harus melakukan hal-hal yang merendahkan kehormatan kita sebagai rimbawan. 

Kehormatan rimbawan juga harus disandang dengan kebanggaan diri yang teraktualisasi pada tindakan-tindakan positif yang menempatkan ideologi/nilai dasar pada posisi seimbang dalam proses pengambilan keputusan. Dalam paradoksalnya, manusia seringkali terjebak dalam dominasi tatalahir tanpa mempertajam tatabatinnya. Jati dirinya adalah harga dirinya.

Kesadaran itu akan menuntut rimbawan membentuk diri sebagai pejuang yang akan selalu siap dan waspada, berhati-hati dalam bersikap, dan memperjuangkan cita-citanya.

|mengalir tanpa batas|

Tidak ada komentar: