07/03/12

Konservasi Tradisional ala Masyarakat Dayak

Praktik konservasi tradisional tentu saja tidak dapat dipisahkan dari pengetahuan asli masyarakat sekitar hutan karena berdasarkan pengetahuan asli itulah masyarakat mempraktekkan kaidah-kaidah konservasi. Hingga saat ini istilah konservasi tradisional belum banyak diuraikan secara jelas, Meskipun telah lama menjadi obyek studi antropologi. 

Konservasi tradisional pada dasarnya merupakan suatu sistem pengetahuan yang diperoleh dari interaksi manusia dengan lingkungan serta seluruh aspek kebudayaan. Sistem ini merupakan rangkaian pengalaman manusia, termaksud bahasa, sejarah, seni, politik, ekonomi, administrasi, psikologi serta aspek-aspek teknis lainnya seperti perikanan, pertanian, kesehatan, pengelolaan sumberdaya alam dan sebagainya. Sistem ini menjadi basis untuk pengambilan keputusan dan menjadi substansi pendidikan pada masyarakat tradisional. 

Sistem ini sama sekali tidak serius, seperti anggapan banyak orang. Sistem ini berkembang terus menenrus akibat interaksi dengan sistem-sistem pengetahuan dari luar, dan kemudian membentuk sebuah keseimbangan baru yang diharapkan mampu menjawab berbagai permasalahan hidup masyarakat dan lingkungan sekitarnya, termaksud teknologi dari luar. 

Dengan demikian konservasi tradisional meliputi semua upaya pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat tradisional baik secara langsung ataupun tidak langsung, telah mempraktikkan kaidah-kaidah konservasi dalam pengelolaan sumberdaya alam guna kelestarian pemanfaatannya. Praktik-praktik tersebut umumnya merupakan warisan nenek moyang mereka, yang bersumber dari pengalaman hidup yang selaras dengan alam. Praktik-praktik pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat tradisonal yang memperhatikan prinsip-prinsip kelestarian tersebut kemudian dikenal sebagai kearifan lokal setempat. 

Konservasi dan kearifan lokal selama ini selalu mendeskreditkan masyarakat tradisional, masyarakat seakan dikambing hitamkan sebagai penyebab kerusakan hutan. Contoh yang paling jelas adalah program pemukiman kemabali (resettlement) suku-suku terasing yang kini telah dihentikan. Kegagalan proyek ini di Kalimantan banyak disebabkan karena ketidakmampuan menilai fungsi social-ekonomi dari rumah betang (rumah panjang tradisional suku dayak) yang ternyata erat kaitannya dengan sistem pengelolaan ladang dan sistem pembagian kerja yang disebut beruduk atau besaup. Sistem ini setiap kelompok kerja antar keluaga dipehitungkan secara cermat. Kerja-kerja kelompok juga dilakukan untuk mengantisipasi resiko dari kegagalan panen. Apabila ada disatu keluarga dalam satu rumah panjang tradisional mengalami kegagalan panen maka keluarga lain siap membantu.


| Konservasi Alam, 2011 |