02/02/17

Hanya ada Aku, Hutan dan Tuhan

Pagi itu, jarum jam menunjukkan angka 4 pagi. Matahari masih berselimut dalam kedinginan angin laut dan suara gemuruh ombak dilaut yang seakan berkejaran agar tercepat sampai di pantai. Kapal harus berangkat saat ini, ini merupakan musim pancaroba dimana alam tak ingin bersahabat dengan para pencari kehidupan di laut. Biasanya ombak dan gelombang di ketiak Pulau Sulawesi akan berhenti ketika imlek menurut pengalaman umumnya masyarakat. Imlek dan ombak pikirku filosofinya adalah perayaan yang diperingati oleh saudara-saudara kita dari tiongkhoa ini setahu saya legendanya adalah ketika seorang raksasa mengamuk dan mereka memberikannya makanan agar raksasa tersebut tidak marah  dan ngamuk lagi. Sepertinya halnya alam, awal tahun seperti kali ini mungkin dimaknai sebagai hari istirahatnya alam agar kembali fit lagi untuk dieksploitasi manusia.
Sepagi itu kapal penumpang umum yang ku tumpangi bergerak menuju sebuah pulau dengan tujuan pengambilan data kerusakan kawasan taman nasional. Seorang diri masuk ke kawasan yang notabene harus dilengkapi dengan fasilitas penunjang berupa alat keselamatan dan tetekbengeknya agar kegiatan kali ini berjalan lancar.
Sesampai di kawasan, menyusuri lorong hutan yang sempit karena kerapatan liana dan duri-duri rotan yang menjalar dikiri-kanan seakan memperingati penjemputan kedatanganku. Jika kalau di pejabat atau orang terkenal akan berkunjung disuatu wilayah, riuh gemuruh penyambutan serta kibaran bendera dan disontaki teriakan histeris pendukung akupun tak ingin kalah dengan mereka itu. Riuh gemuruh teriakan berupa angin darat yang berhembus  serta duri-duri dan liana hutan sebagai kibaran bendera untuk kedatanganku kali ini.
Bukannya karena tidak ada tim, tapi kami harus dipencar agar target dan data yang diinginkan dapat tercapai. Kami harus berpencar. Instruksi kepala SPTN Wilayah tegasnya.


Wifi perdana Balai