“Pak Soli”, hanyalah sosok Orang Indonesia asal Timika, seorang tukang batu yang kebetulan mendapat order dari kawannya untuk membuat WC dirumah kami. Beliau baru saja meginjakkan kaki di Sulawesi Tengah. Yang istimewa dari Pak Soli adalah penguasaannya terhadap berbagai bahasa daerah seperti Makassar, Bugis, Jawa, Kaili dan bahkan bahasa tertentu di pantai Timur, disamping tentunya bahasa Timika sebagai bahasa Ibunya dan juga bahasa indonesia sebagai bahasa nasional. Padahal, beliau tidak mengecap pendidikan yang memadai.
Dikali lain, saya bertemu hampir secara rutin di setiap pagi dengan katakanlah “Mas Onal”,si Penjaga Kantin Kantorku. Panggilan mas berindikasi asal Jawa, tapi mas yang satu ini berasal dari Sumatra. Beliau bisa berbahasa Bugis, Makassar dan juga bahasa Kaili dan tentunya Bahasa Ibunya. Ternyata, kita memiliki orang-orang yang menurut ukuran intelektual mungkin tidak diperhitungkan, namun bisa menjadi contoh yang mengagumkan.
Qoe menjadi sangat “iri” melihat “Pak Soli dan Mas Onal” yang begitu supel dalam bergaul dan bertutur dengan bahasa sesuai asal daerah dari lawan bicara. Sementara, pada waktu bersamaan, di sinyalir banyak generasi baru menjadi asing dengan bahasa daerahnya. Boleh jadi ini adalah titik awal krisis identitas yang berimplikasi buruk bagi punahnya bahasa daerah sebagai khazanah kebudayaan nasional.
Kata Agust Counte “Bahasa dapat Mereduksi Pemahaman” mungkin pendapat agust tersebut benar adanya dan bagaimana seaindainya Qoe berada diposisi orang batak yang tidak paham dan mengerti dengan bahasa