Konsep pembangunan di negara-negara dunia ketiga (termasuk Indonesia) telah terjebak pada sekedar pembangunan fisik, dengan fokus utama pertumbuhan ekonomi. Strategi ini tidak dapat meningkatkan kesejahteraan dan kualitas kehidupan manusia. Pembangunan dengan capaian utama pertumbuhan ekonomi dan asumsi trickle down effects adalah konsep pembangunan yang usang. Pembangunan yang sejati, menurut Arif Budiman adalah pembangunan manusia (Ibrahim 2004). Pembangunan bukan sekedar mengadakan proyek-proyek. Konsep pembangunan harus dicurahkan pada investasi di bidang human capital, karena manusia adalah sumber daya yang paling penting. Manusia adalah makhluk yang paling kreatif. Untuk bisa kreatif,
manusia harus merasa aman dan bebas dari rasa takut. Hanya manusia kreatif yang bisa menyelenggarakan pembangunan dan memecahkan masalah yang dihadapinya. Soedjatmoko menyebut pembangunan yang baik adalah pembangunan yang mendinamisasikan kekuatan-kekuatan masyarakat tanpa rasa takut (Ibrahim 2004). Korten dan Sjahrir (1988) menyebut pembangunan yang berpusat pada manusia sebagai paradigma berpusat pada rakyat (people center development).
Sebagaimana dikutip oleh Ibrahim (2004), Soedjatmoko, seorang intelektual terkemuka Indonesia, menyatakan bahwa usaha pembangunan dan modernisasi yang kita jalani sebagai sebuah bangsa telah menghadapkan kita secara langsung dengan masalah kebudayaan Indonesia. Masalah pembangunan dan kebudayaan ini memunculkan diskusi yang sangat penting mengenai perlunya mempertahankan kepribadian dalam menghadapi perubahan-perubahan sosial yang sangat luas dan mendalam. Kebudayaan juga harus menghadapi implikasi-implikasi pembangunan seperti pengaruh dari luar dalam berbagai bentuk, termasuk gaya hidup, pola konsumsi, teknologi dan ilmu pengetahuan serta dampak komunikasi massa.
Implikasi paling besar dari pembangunan yang dirasakan adalah faktor lingkungan. Dalam 4 dekade terakhir, pembangunan Indonesia ditopang oleh ekstraksi sumber daya alam yang tinggi. Ini mencerminkan persoalan yang lebih global. Indrawan dkk (2007) telah menguraikan persoalan kerusakan masal di Bumi akibat pembangunan ini dengan baik. Ia menyatakan bahwa kepunahan jenis tumbuhan dan hewan saat ini berbeda dengan kepunahan di masa-masa geologi yang lalu. Di masa lalu, kepunahan massal terjadi akibat faktor non-manusia seperti tumbukan asteroid dengan bumi, perubahan temperatur yang drastis, atau bencana besar. Saat ini, kepunahan hampir sepenuhnya dipengaruhi oleh manusia. Kerusakan lingkunan dalam beberapa abad terakhir disebabkan oleh mahluk paling pandai, memiliki akal-budipekerti, serta pemikiran bebas sebagai sifat unik dan khas manusia. Tekanan terhadap lingkungan dan keanekaragaman hayati dipicu juga oleh peningkatan populasi manusia.
Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi dunia berdiri di atas pengurasan sumberdaya alam (minyak bumi, batu bara, emas, nikel, tembaga, kayu, perak). Sebagian besar sumber daya tersebut merupakan sumberdaya yang tidak terbaharukan. Ekstraksi dan eksploitasi terhadap sumber daya alam telah sampai pada titik yang sangat mengkhawatirkan. Senge (2008) menguraikan bahwa saat ini lebih dari 50 juta manusia setiap tahun bermigrasi ke kota-kota. Sumber-sumber perekoniman tradisional di desa telah hancur. Kondisi lingkungan, khususnya lahan dan perikanan, terdegradasi. Hal ini menyebabkan ketimpangan ketimpangan dalam distribusi sumberdaya dan sekaligus dalam ”gaya hidup” antara penduduk kota dan desa. Indonesia sedang mengalami masalah ini dan akan terus berakumulasi di masa depan.
Lebih jelas mengenai ketimpangan tersebut di atas, kita menyimak bukti-bukti yang dipaparkan James Martin melalui bukunya The Meaning of the 21 Century (2007). Ia menyatakan bahwa 7% penduduk dunia mengkonsumsi 80% energi yang tersedia. Bila kita hitung, konsumsi energi, air, dan sumberdaya alam lainnya satu orang di negara maju setara dengan konsumsi 140 orang Afganistan atau Ethiopia. James Martin menguraikan ada tiga macam penyebab kehancuran sumberdaya alam: penurunan kuantitas sumberdaya alam, pertumbuhan penduduk, dan pola konsumsi. Amerika adalah negara yang memberi kontribusi tertinggi bagi pelepasan gas carbon dioksida di atmosfer. Pernyataan James Martin tersebut mungkin dapat mengkonfirmasi adanya asumsi determinan mengenai ledakan penduduk dan batas-batas pembangunan sejak tahun 1970-an.
Sebuah dokumen penting dari Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Club of Rome berjudul The Limits to Growth (1972), menyatakan bahwa menipisnya sumberdaya alam di dunia diakibatkan ledakan penduduk dunia. Bukti dari Senge (2008) dapat kita gunakan untuk mengkritik pandangan deterministik ini. Sebuah komisi minyak yang dibentuk pemerintah dan industri minyak Amerika menyatakan bahwa cadangan minyak dan gas dunia tidak akan mampu mensuplai permintaan global 25 tahun ke depan. Ini mendorong naiknya harga minyak dari $ 25/barrel menjadi $ 100/barel antara tahun 2000 sampai akhir 2007. United States mengkonsumsi 20 juta barrel minya per hari (25% dari konsumsi minyak dunia); China mengkonsumsi 6 juta; Jepang 5 juta. Diperkirakan 80% konsumsi minyak Amerika Serikat adalah impor. Ledakan penduduk yang melesat tinggi di negara-negara berkembang sering dipandang sebagai faktor tunggal bagi masalah pembangunan. Namun demikian, ini tidak bisa menjadi faktor tunggal yang menyebabkan habisnya sumberdaya alam. Gaya hidup dan pola konsumsi negara maju juga menjadi faktor utama. Sementara akibat langsung dari krisis sumber daya alam, pastilah penduduk di negara berkembang. Panel antar pemerintah untuk perubahan iklim di Kopenhagen 13 Maret 2009, memperkirakan pada akhir abad ini permukaan air laut akibat pemanasan global akan naik 18-59 sentimeter. Jutaan hektar dataran rendah akan banjir dan serta ratusan juta orang mengungsi. Pemanasan global yang disebabkan industri di negara maju akan ditanggung oleh penduduk negara-negara miskin (Sinar Harapan, 13/02/09).
Pola hidup dan konsumsi dalam pemakaian sumberdaya alam ini telah menimbulkan ”eksploitasi” dalam bentuk baru. Sementara negara-negara maju melindungi kawasan hutan dan sumber daya alamnya, mereka mengarahkan usaha eksploitasi ke negara berkembang yang berbiaya lebih murah. Contoh paling bagus tentang paradoks ini adalah mengenai hutan tropis kita. Kebutuhan kayu regional dan global telah menyebabkan hutan Indonesia rusak parah dalam tempo 35 tahun terakhir. Di Indonesia, kelangkaan sumberdaya kayu sudah sangat dirasakan lebih dari 10 tahun yang lalu. Di ujung yang lain, Swedia telah mendeklarasikan bebas dari ketergantungan energi dari fosil tahun 2020. Tren di atas menunjukkan kepada kita arah baru yang sangat mengkhawatirkan. Negara-negara maju di Utara menguras sumberdaya alam dari Selatan dan sekaligus menuntut negara-negara Selatan, termasuk Indonesia untuk melindungi sumberdaya alamnya, termasuk sumberdaya hutan.
Tantangan Pengelolaan Kawasan Konservasi
Bagaimana sikap Indonesia? Kawasan hutan yang relatif tidak mengalami kerusakan menjadi pilihan politik yang kontroversial. Kawasan ini umumnya dilindungi, karena statusnya kawasan konservasi. Sampai dengan 2008, luas kawasan konservasi ini mencapai 28,2 juta hektar. Selain kawasan konservasi, terdapat kawasan yang memiliki lanskap dataran tinggi yang disebut sebagai kawasan hutan lindung—untuk kepentingan perlindungan hidrologi dan tata air seluas 20 juta hektar. Kawasan ini dianggap sebagai beban karena tidak memberikan kontribusi ekonomi secara langsung dan banyak diperebutkan karena potensi tambangnya.
Pemerintah yang mendapatkan mandat dari undang-undang untuk melakukan pengaturan, fasilitasi, dan kontrol dalam pengelolaan kawasan-kawasan konservasi menghadapi persoalan-persoalan mendasar. Baik persoalan internal maupun tekanan dari eksternal dan dinamikan sosial budaya, ekonomi, dan politik di sekitar kawasan konservasi. Masalah-masalah tersebut beragam mulai dari, misalnya: di luar Jawa, keberadaan masyarakat adat yang memiliki klaim hak ulayat di dalam kawasan konservasi terus menjadi perdebatan; pembangunan membutuhkan ruang budidaya; penyediaan sarana dan prasarana, seperti pembangunan jalan dan pemukiman baru; kebijakan desentralisasi yang memungkinkan munculnya kabupaten atau provinsi baru di dalam kawasan konservasi; semuanya menjadi tantangan bagi upaya mempertahankan kawasan konservasi sebagai sistem penyangga kehidupan. Belum lagi potensi tambang (minyak bumi, gas alam, berbagai bahan mineral-emas, batu bara, tembaga, perak, nikel, dan sebagainya) di dalam kawasan konservasi. Potensi tambang tersebut menjadi komoditas politik kelompok elite yang memiliki kekuasaan sangat besar. Tidak mengherankan apabila kawasan konservasi menjadi titik temu berbagai kepentingan lintas sektor sehingga memunculkan, misalnya undang-undang sektoral yang dipenuhi kontroversi.
Di Sumatra dan Kalimantan hutan-hutan alam yang berstatus hutan produksi telah mulai habis. Hutan itu berubah menjadi hutan-hutan miskin dan terbuka serta diduduki oleh masyarakat untuk kebun sawit, karet, atau digunakan untuk kepentingan spekulasi tanah. Studi yang dilakukan oleh WWF tentang kondisi hutan Riau menunjukkan data sebagai berikut : tutupan hutan alam 1988 (5,6 juta Ha), tahun 2000 (3,3 juta Ha), dan tahun 2005 (2,7 juta Ha). Hampir 50% hutan alam di Provinsi Riau lenyap dalam tempo 17 tahun, atau rata-rata kehilangan hutan alam seluas 170.590 Ha/tahun. Walaupun studi ini masih diperdebatkan keabsahannya, tetapi apabila benar, sungguh suatu keadaan yang mengerikan. Contoh lain di kawasan konservasi di Provinsi Riau, yaitu TN Tesso Nilo. Pada periode 2005-2006, di kawasan TN tesso Nilo dan areal rencana perluasannya (eks HPH PT. Nanjak Makmu), telah terjadi penambahan luas perambahan dari 18.162 Ha (2005) menjadi seluas 35.600 Ha (2006) atau terjadi penambahan seluas 17.438 Ha dalam setahun. Areal perambahan ini dikuasai oleh lebih dari 2.300 KK perambah. Menurut informasi, sebagian besar berasal dari Sumatera Utara.
Tata Kelola Pemerintahan dan Kawasan Konservasi
Perubahan pola penggunaan lahan yang sedemikian hebatnya di luar kawasan konservasi telah mengancam secara langsung eksistensi kawasan-kawasan konservasi, sehingga tekanan bagi usaha pelestarian menjadi semakin meningkat. Dalam konteks perkembangan sosial-ekonomi, pembangunan, pertambahan jumlah penduduk, dan perubahan geopolitik juga ikut andil dalam mendorong meningkatnya kompleksitas tantangan dalam pengelolaan kawasan konservasi. Proses otonomi daerah yang tidak didesain secara sistematis dan tanpa masa transisi melahirkan banyak kekacauan. Seringkali dengan retorika ”kepentingan masyarakat”, elit-elit politik lokal memanfaatkan proses otonomi untuk membangun dan melanggengkan jaringan kekuasaan. Meningkatnya konflik satwa liar (gajah, harimau, orang utan) dengan masyarakat di sekitar kawasan konservasi (kasus di TN Gunung Leuser, di sebagian besar Provinsi Jambi, dan Riau) menjadi indikator putusnya ”rantai ekosistem” akibat meningkatnya kerusakan, perusakan habitat satwa liar tersebut.
Tugas pemerintah ( di pusat dan di daerah) seharusnya dapat menjaga pendulum pembangunan agar tidak terjatuh dalam kutub ekonomi (antroposentris) dan juga tidak terpuruk ke kutub ekologi (ecosentris). Pemerintah memiliki mandat untuk melakukan tiga peranan sentral yakni sebagai pengatur, fasilitator, dan kontrol. Mandat ini harus mampu menjaga keseimbangan dua kutub tersebut. Kepemimpinan (leadership) yang efektif dan konsisten dibutuhkan untuk membuat keseimbangan itu terjadi. Kepemimpinan efektif hanya dapat dibangun dari komunikasi efektif. Komunikasi ini didasari atas dasar rasa saling percaya bersama (mutual trust). Selama lebih dari 30 tahun, pemerintah lebih dominan memainkan peranan sebagai pengatur dan mengabaikan peranan pihak lainnya. Watak pengatur ini sampai sekarang masih menjadi ciri dari pemerintah. Ini menjadi kendala internal terbesar bagi organisasi pemerintah pengelola kawasan-kawasan konservasi. Hal ini diperparah dengan selalu munculnya tiga macam konflik: konflik kepentingan (ekonomi vs ekologi), konflik manajemen (tertutup-ekslusif vs terbuka-inklusif), dan konflik di tingkat legislasi nasional (UU berbasis sektor, misalnya UU Migas/Pertambangan Vs UU Kehutanan).
Tantangan pengelola kawasan konservasi saat ini dan ke depan adalah bagaimana membangun manajemen dan mekanisme keseimbangan pengelolaan. Pengelola kawasan dituntut untuk mampu menjembatani kepentingan ekonomi dan kepentingan penyelamatan lingkungan. Ini sesuai dengan tuntutan bagi pemerintah yang harus menyeimbangkan 3 peranan di atas. Hal ini tercapai apabila terdapat inti sari dari manajemen yakni seni kepemimpinan, the art of leadership. Kalau diperas lagi, intisari dari leadership adalah komunikasi. Komunikasi yang efektif akan melahirkan leadership yang efektif.
Suhariyanto-mantan Inspektur Jenderal Dephut, melalui beberapa seri diskusi informal menyatakan kepada penulis bahwa pemerintah harus merubah strategi dan perannya dari layanan konvensional menuju layanan prima. Fokus layanan harus digeser dari mementingkan birokrasi ke layanan berbasis kepentingan publik; orientasinya sikap perlu digeser dari kebanggaan institusi ke fungsi dan manfaat; basisnya dari sekedar dokumen atau formalitas administrasi menuju basis informasi; dan merubah sifatnya dari ekslusif menjadi inklusif. Perubahan tersebut memerlukan komunikasi efektif baik di lingkungan internal pemerintah dan lingkungan eksternal di publik yang lebih luas. Lebih lanjut Suhariyanto menyimpulkan bahwa pemerintah sebagai unsur ”sebab” dan publik sebagai unsur ”akibat”, bukan sebaliknya. Pemerintah dengan mandat dari negara dapat menciptakan hukum dan kebijakan, yang apabila tidak dapat dilaksanakan dengan benar dapat memberi dampak yang besar. Kebijakan pengelolaan sumberdaya alam, yang dimandatkan oleh rakyat kepada pemerintah seringkali berakibat negatif dan berskala besar baik langsung maupun tidak langsung kepada rakyat. Banyak produk hukum dan kebijakan yang disusun lembaga legislatif dan dilaksanakan oleh pemerintah berbenturan dengan berbagai kepentingan publik. Oleh karena itu pemerintah harus sangat hati-hati menyusun kebijakan dan produk hukum. Produk hukum yang diciptakan seharusnya ditinjau dan disusun berdasarkan pada aspek yang lengkap baik aspek ekonomi, sosial atau budaya. Sehingganya dikemudian hari, pelaksanaannya memberi rasa keadilan bagi masyarakat.
Pengelola kawasan konservasi sudah seharusnya memperhatikan secara cermat berbagai persoalan, wacana, dan perkembangan geopolitik, sosial ekonomi, dan aspek kesejarahan yang panjang dan kompleks tersebut di atas. Para pengelola Kawasan Konservasi, sebagai perwakilan pemerintah, harus dapat mengemban minimal tiga aspek: pengaturan, fasilitasi, dan kontrol. Peran ini dimainkan dengan berusaha secara kontinyu membangun transisi dari layanan konvensional menuju layanan prima. Pembangunan karakter dan budaya berorientasi kepada rakyat ini perlu dibangun oleh pemerintah agar dapat dibangun visi dan arah yang jelas, dengan capaiannya adalah terjadinya keseimbangan antara kutub antroposentrisme dan ekosentrisme.
Jaman ”kayu” telah hampir usai. Pengelola kawasan-kawasan konservasi adalah ujung tombak dan garda depan penyelamatan sumberdaya hutan tropis Indonesia yang masih tersisa, terlepas dari apapun latar belakang sejarah, motif politik, kepentingan dan konteks sosial di balik penetapan kawasan konservasi tersebut. Kesadaran diri sebagai garda depan penyelamat hutan tropis juga harus diimbangi dengan keinginan untuk mengubah paradigma dan strategi pengelolaan. Tanpa perubahan tersebut, kehancuran kawasan konservasi Indonesia bukan hanya soal menunggu waktu.
Renungan Konservasi
Wacana dan praktek pengelolaan kawasan konservasi harus dimulai dari kesadaran aktor-aktornya (manusia) untuk memahami konservasi sebagai sebuah gerakan (movement) bersama. Bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah. Pengelolaan kawasan konservasi harus menjadi gerakan baru lintas disiplin keilmuan dan kepentingan. Hal ini karena dimulai dari penemuan dan perjumaan diri seseorang ( on self) terhadap kesadaran konservasi. Kesadaran diri terhadap konservasi akan menghindarkan seseorang dari perasaan kewajiban atau keterpaksaan atau mentalitas birokrat yang pasif. Kesadaran diri ini menentukan arah pengelolaan menuju tujuan yang ditetapkan secara inklusif dan mengakomodasi berbagai kepentingan saat ini maupun lintas generasi.
Ini membawa kita kepada sebuah diskusi tentang pengelolaan kawasan konservasi yang bukan hanya pekerjaan belaka atau kesempatan kerja. Ini menandai bahwa konservasi jauh melampaui hal-hal teknis. Konservasi dapat digunakan sebagai sebuah jalan untuk menemukan pengabdian. Sebuah usaha pencarian identitas yang sangat menarik dan menantang. Masi adakah para pekerja konservasi, baik di jajaran pemerintah, di lingkungan lembaga swadaya masyarakat, NGO international, praktisi, dan pengamat konservasi, memiliki kesadaran akan arah baru seperti ini? Pertanyaan diskursif dan praksis yang layak kita renungkan, agar kita semua tidak terjebak hanya sekedar menjadi tukang-tukang konservasi, bahkan menjadi parasit konservasi karena menjadikan konservasi sebagai lahan untuk hidup tanpa dapat memberikan makna yang mendalam membawanya menuju kemenangan, dan sekaligus menyerahkan tongkat estafet kepada generasi mendatang, sebagian dari bumi yang masih relatif masih utuh.
Sumber : Pak Wir *Taman Nasional Gunung Lausser*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar