Apapun peran yang kita mainkan dalam kehidupan ini yang pasti punya tujuan, entah untuk nilai komersialisasi, nilai status sosial atau bahkan mengatasnamakan ”Tuhan” sekalipun, yang penting kita punya peran. Semakin lama sandiwara ini kita mainkan maka semakin banyak hal yang perlahan tapi pasti mulai kita pahami dan pemahaman itulah yang telah membuka pintu hati kita untuk mengenal sang ”Sutradara” yang kita sebut ”Tuhan”.
Selama berhari-hari, Bulan bahkan bertahun-tahun kita menjadi aktor dari Skenario cerita kehidupan yang kita sering bimbang dan bingung apa yang ada di balik cerita yang kita perankan. Boleh jadi kita isi cerita kehidupan ini dengan menjadi preman, pelacur, penjudi, peminum tapi tidak menutup kemungkinan garis takdir mengantarkan hidayah sehingga status sosial kita di tengah-tengah masyarakat menjadi seorang guru, dosen atau bahkan lebih mulia ”Seorang Ustazd”.
Kita mulai tersentak dan tersadar ketika cerita kehidupan ini menguak misteri yang jauh dari perencanaan dan logika kemanusiaan kita. Kita tidak pernah menyangka bahwa seorang pelacur yang kita ”nistakan” kemudian berbalik menjadi muslimah seutuhnya. Atau yang lebih ironis lagi ternyata kita temukan seorang tokoh agama yang rela menjual aqidahnya untuk meningkatkan status ekonominya (Penulis tidak tega menggunakan istilah ”korupsi” kalaupun itu kenyataannya).
Ulah ”liar” manusia, berbuat sesuka hatinya, saling zalim menzalimi, zina menzinahi dan seakan-akan tanpa kontrol terkadang telah menggoda alam berpikir kita untuk kemudian bertanya kemana perginya ”Sang Sutradara” ?, apakah setelah ia ciptakan kehidupan kemudian ia menghilang dan membiarkan manusia menggoreskan takdirnya sendiri ? Atau mungkin ”Sang Sutradara” memilih dan memilah mana aktor yang tepat untuk satu peran tertentu dalam Skenario-Nya ?
Berbagai spekulasi jawaban dari rentetan pertanyaan tersebut. Satu diantaranya ketika Friendrich Wilhelm Nietzche dalam diktumnya “Tuhan telah mati”. Pandangan Nietzche itu kemudian memperoleh dukungan dari para ilmuan ternama lain, seperti Sigmund Freud, Karl Marx dan sederetan nama lain yang pada dasarnya berpendapat bahwa ajaran agama tak lebih sebagai sebuah ilusi dan hiburan sesaat untuk lari dari derita hidup dan sama sekali bukan penyelesaian problem hidup itu sendiri.
Tentu saja dalam kehidupan ini yang hidup bukan hanya Nietche. Bagi Albert Einstein, tidak terbayangkan olehnya ada para ilmuan yang tidak punya keimanan mendalam. Makin jauh kita masuk pada rahasia alam, makin besar kekaguman dan penghormatan kita pada Tuhan. Ketika Einstein ditanya apakah Ia percaya kepada Tuhannya Spinoza, filosof Yahudi dari Belanda, Ia berkata :
Aku tak bisa menjawabnya dengan sederhana; ya atau tidak. Aku bukan ateis dan aku tidak juga dapat menyebut diriku panteis. Kita ini mirip seorang anak yang masuk kesebuah perpustakaan besar, penuh dengan buku dalam berbagai bahasa. Anak itu tahu bahwa pasti ada orang yang telah menulis buku-buku itu. Secara samar-samar, si anak menduga adanya keteraturan misterius dalam penyusunan buku-buku itu, tetapi Ia tak tahu bagaimana. Bagiku, itulah sikap yang sesungguhnya dari bahkan orang yang paling cerdas sekalipun terhadap Tuhan. Kita melihat alam semesta disusun dengan sangat menakjubkan dan mematuhi hukum-hukum tertentu. Tetapi, kita hanya memahami hukum-hukum itu secara samar-samar saja. Pikiran kita yang terbatas tak dapat menangkap kekuatan misterius yang menggerakkan semesta. Aku terpesona dengan panteisme spinoza, tetapi aku jauh lebih mengagumi lagi sumbangannya bagi pemikiran modern karena dialah filosof pertama yang memperlakukan jiwa dan badan sebagai satu kesatuan, bukan dua hal yang berbeda.
Ketakjubannya pada penemuan sains membawa Einstin kepada Tuhan. Jika pandangan agamanya mempengaruhi pemikiran ilmiahnya, pada gilirannya pemikiran ilmiahnya mewarnai pandangan agamanya. Dalam pandangan Einstin, salah satu intekasi antara agama dan ilmu pengetahuan adalah agama menyumbangkan ajarannya pada ilmu pengetahuan dan ilmu pengetahuan menghadiahkan penemuannya pada agama.
Siapaun orangnya, entah Nietche atau Einstein, atau siapapun ia, semuanya berbicara atas nama ”Tuhan”. Satu melihat dari sisi kelam-Nya dan sudut pandang lainnya melihat pencerahan menuju hakekat kemanusiaan yang ”ber-Tuhan”.
Pencarian dan penemuan hakekat ketuhanan sesungguhnya adalah proses pencerahan manusia menuju Tuhannya. Al-Hallaj, seorang sufi besar yang pernah dimiliki oleh dunia Islam, akhirnya dihukum pancung oleh algojo Abul Haris atas perintah Khalifah Bani Abbasiyah karena telah dituduh kafir atas pendapatnya, “Ana Al-Haq” (aku adalah kebenaran) atau “Ana Al-lah” (Aku adalah Allah). Ucapan kesufiannya inilah yang menghadapkan Al-Hallaj ke tiang gantungan.
Kasus Al-Hallaj menggores kepedihan mendalam pada nurani sejarah. Kematiannya memercikkan sentimen publik tentang perebutan makna dan hak istimewa “atas nama Tuhan” untuk mematikan perbedaan pendapat dikalangan masyarakat. Seolah menjadi penguasa, lantas dengan sendirinya memiliki hak istimewa dari Tuhan untuk menuntun, mengatur dan menentukan jalan hidup orang lain.
Ironisnya, ketika berbagai persoalan sosial keagamaan muncul bukan untuk menjadikan Tuhan sebagai “sebab” dan “tujuan” segala permohonan dan pengabdian melainkan Tuhan dipinjamkan nama-Nya, guna dimanfaatkan sebagai alat, sebagai instumen sosial politik untuk membenarkan berbagai tindakan yang justru melawan kehendak Tuhan itu sendiri.
Belajar untuk mempelajari keragaman alam berpikir dari sudut pandang yang berbeda dan belajar untuk tidak selalu mengklaim kebenaran hanya dari satu sudut pandang telah membawa alam kesadaran berpikir kita bahwa hanya Tuhan yang berhak untuk mengatasnamakan kebenaran Mutlak dan manusia tidak punya hak mengatasnamakan Tuhan untuk saling menghakimi, saling mengkafirkan bahkan Tuhan tidak pernah memberikan legitimasi manusia mengatasnamakan Tuhan untuk mencabut ”hak nafas kehidupan” manusia lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar