Pagi ini, Berkecimuk persemayaman di otakku. Anakku akan sekolah formal. Agak kesiangan, entah harus berapa kali kami bolak-balik dalam rumah kayak KRL jabodetabek. Entahlah, ternyata bukan Ayash aja yang heboh menghadapi hari pertamanya masuk sekolah formal. Kamipun sebagai orang tuanya jauh hari sebelum tanggal 17 Juli kemaren sudah disibukkan dengan pemilihan sekolah terbaik, Akreditasi, pola belajar untuk taman kanak-kanak yang ada di dusun ini hingga ruang sirkulasi udara untuk perkembangan anak tak luput kami diskusikan bersama menjelang tidur. Maklum saja yang namanya dusun semua serba terbatas. Walaupun pemerintah telah mencanangkan pemerataan pembangunan sedari beberapa puluh tahun lalu. Tak terkecuali pendidikan formal. Dibeberapa sekolah TK kami menanyakan beberapa pertanyaan mendasar seperti akreditasi, setiap guru nangani berapa murid, pola pembelajaran hingga fasilitas bermain untuk anak-anak. Walau setinggat taman kanak-kanak. Namun kami sebagai orang tua selalu ingin memberikan yang terbaik untuk anak pertama lalaki kami.
Tepat di depan sekolah, ternyata bel masuk telah berbunyi dan anak-anak sudah pada masuk ke kelas. Mereka digabung dalam satu kelas dahulu. Menurut penjelasan gurunya bahwa ini hanya berlangsung seminggu untuk mencoba melakukan adaptasi terhadap anak baru, setelah itu mereka akan dipecah ke masing-masing kelas. Bertemu dengan puluhan orang tua pengantar anak mereka bahkan ada orang tua yang masuk sesampai di dalam kelas. Lucu, haru, bergembira melihat anak pertamaku masuk sekolah Taman Kanak-kanak.
Dari bilik jendela teralis di kelas anakku, aku berpikir dan berdoa semoga Anakku menjadi anak terbaik di tahapan perkembangannya. Walaupun semuanya tidaklah diukur dengan angka-angka raport yang dikeluarkan sekolah. Dengan demikian rasanya terlalu premature ketika kita menganggap bahwa sekolah satu-satunya penghasil produk bernama manusia.
Aku mengerti bahwa orang tua manapun di dunia ini tidak akan mau anaknya menjadi penjahat. Dalam buku karya Paulo Freire berjudul Menggugat Pendidikan, tertulis cerita tentang kaisar Nero. Filusuf dan juga pakar politik di Romawi kuno bercerita tentang pengalamannya. Ia mempunyai murid terkenal bernama Nero Claudius Caesar Drusus Germanicus atau dipanggil Nero sang kaisar pembunuhnya adalah seorang pemain teater, penyayim penyair, musisi yang dibenci oleh siapapun. Nero pernah meracuni Seneca, tetapi sang guru sempat pulih kembali. Nero pernah memaksanya bunuh diri. Apakah Seneca mengajarnya untuk menghukum mati ibu, saudara-saudara, isteri dan sekian banyak rakyat jelata? Tentu tidak. Meski Seneca ikut merasa berdosa lantaran muridnya lulus dalam keadaan jauh dari waras.
Lantas apa yang membuat sekolah menghasilkan seorang penjahat? Freire dkk menganggap bahwa jawaban yang paling aman dan paling dianggap mendekati kenyataan yaitu Kehidupana dalah akademi mahabesar, kehidupan adalah guru, mau jadi apakah lulusannya, tak ada yang bisa memastikan. Atau dengan kata lain Freire dkk beranggapan bahwa kehidupanlah yang bisa memastikan apakah seseorang menjadi baik atau penjahat.
Selamat bersekolah nak. Yuk kita santai dan menikmatinya. Jangan pernah takut pada siapapun tetapi tetap menghormati. Belajarlah menjadi manusia untuk menuju kesempurnaanNya.