BAB 1 . PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perubahan iklim telah menimbulkan banyak masalah, salah satunya adalah perubahan iklim dan keberlanjutan kehidupan di bumi. Akibatnya, dampak yang ditimbulkan seperti kenaikan suhu global, perubahan pola curah hujan dan peningkatan frekuensi bencana alam sangat berdampak pada berbagai aspek kehidupan manusia tak terkecuali pertanian dan kehutanan. Meskipun aspek ini retan terhadap perubahan iklim, sektor ini juga berkontribusi signifikan terhadap emisi gas rumah kaca. Dari data Tahun 2016 Laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) yang merupakan badan internasional untuk menilai perubahan iklim dijelaskan bahwa emisi dari sektor pertanian dan kehutanan dan penggunaan lahan lainnya menyumbang sekitar 20% dari total emisi global.Agroforestri sebagai salah satu sistem pengelolaan lahan yang mengkombinasikan antara tanaman pertanian dan kehutanan kedalam suatu lahan, menawarkan solusi untuk mengatasi perubahan iklim. Sistem ini tidak hanya menyerap karbon melalui biomasa pohon dan tanah, namun juga memberikan manfaat ekonomi dan ekologi misalnya meningkatkan kesuburan tanah, mempertahankan air tanah, dan biodiversitas keanekaragaman hayati.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana mekanisme agroforestri dalam menyerap karbon?
2. Apa saja manfaat lain agroforestri selain mitigasi perubahan iklim?
3. Apa saja tantangan dalam penerapan agroforestri?
1.3. Tujuan Penulisan
Makalah ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang mendalam tentang agroforestri sebagai salah satu solusi dalam mengatasi perubahan iklim. Melalui analisis mendalam terhadap mekanisme penyerapan karbon, manfaat tambahan, dan tantangan yang dihadapi, makalah ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi dan arahan bagi pengembangan agroforestri yang berkelanjutan.1.4. Kegunaan dan Manfaat PenulisanKegunaan dan manfaat dari makalah ini diharapkan makalah ini dapat menyadarkan masyarakat luas tentang peran penting Agroforestri dalam mitigasi perubahan iklim dan keberlanjutan lingkungan dan menginspirasi para pembaca dalam menerapkan praktik agroforestri sehingga diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi berbagi pihak.
BAB 2 . TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Terdahulu
Dalam rangka adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, praktek agroforestri dapat memainkan peran penting karena menyerap lebih banyak karbon di atmosfer di bagian tanaman dan tanah dibandingkan dengan pertanian konvensional. Upaya mitigasi perubahan iklim berkaitan erat dengan aktivitas di sektor pertanian dan kehutanan. Emisi dari sektor ini berkontribusi sebesar 20% terhadap emisi global. Namun ditinjau dari nilai ekonomi, setiap unit karbon yang diemisikan di berbagai negara tropis ternyata sangat rendah. Menurut Swallow dkk (2007), dari studi kasus tiga provinsi di Indonesia, ditemukan bahwa 6-20% emisi yang berasal dari agriculture, forest and other land uses (AFOLU) hanya menghasilkan return financial kurang dari 1 USD, dan sekitar 64- 92% emisi menghasilkan keuntungan finansial kurang dari 5 USD. Kelas penggunaan lahan berupa hutan merupakan contoh penggunaan lahan dengan cadangan karbon tinggi namun dengan nilai ekonomi yang rendah, sedangkan agroforestri merupakan salah satu penggunaan lahan yang memiliki cadangan karbon tinggi (tidak setinggi kelas hutan) dengan nilai ekonomi penggunaan lahan yang relatif tinggi. Beberapa hal tetap perlu mendapat perhatian ketika agroforestri dijadikan intervensi utama dalam mempromosikan pembangunan rendah emisi, antara lain: tipe agroforestri yang cocok dengan kesesuaian lahan dan kondisi sosial demografi, termasuk ketersediaan tenaga kerja di area-area yang dijadikan target intervensi agroforestri. Agroforestri pada area dengan cadangan karbon dan nilai ekonomi yang rendah menunjukkan bahwa agroforestri dapat menurunkan emisi karbon sekitar 30% dan dapat meningkatkan nilai ekonomi penggunaan lahan hingga sekitar 80%. Intervensi agroforestri pada area dengan karbon rendah dan ekonomi tinggi hanya menurunkan emisi sekitar 20% dan hanya meningkatkan nilai ekonomi sebesar 20% pula. Di area ini, agroforestri dapat juga diperkenalkan, walaupun tidak seoptimal area sebelumnya. Namun begitu, perbedaan komposisi tanaman agroforestri akan menentukan perbedaan cadangan karbon dan nilai ekonominya. Pemodelan menggunakan tipe agroforestri yang berbeda akan mendapatkan hasil yang berbeda pula, namun pola umum menunjukan bahwa agroforestri akan mampu meningkatkan cadangan karbon dan nilai ekonomi penggunaan lahan yang pada akhirnya mengurangi emisi karbon dioksida pada suatu wilayah (Rondius, 2012)
Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan Business as Usual (BaU) dan 41% dengan bantuan internasional pada tahun 2030. Dengan demikian, perhutanan sosial di kawasan KHDPK perlu mendapatkan dukungan dari berbagai pemangku kepentingan dalam memaksimalkan pengelolaan kawasan sehingga target penurunan emisi dan dukungan ekonomi bagi masyarakat sekitar hutan dapat tercapai. Pengelolaan hutan lestari dalam skema perhutanan sosial dengan menerapkan sistem agroforestri berpotensi memberikan berbagai manfaat. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sistem agroforestri cenderung memiliki cadangan karbon yang relatif tinggi, Hal ini dikarenakan agroforestri memiliki keanekaragaman spesies di dalamnya. Keanekaragaman spesies tanaman di suatu lokasi dapat memberikan gambaran tentang besarnya nilai karbon yang tersimpan (Nurrochmat et al., 2024)
Asmani et.al. (2011) melaporkan bahwa lahan yang terdegradasi yang dibiarkan terbuka dengan adanya kebakaran melepas emisi sebesar 49,90 ton karbon dioksida per hektar per tahun. Dengan dilakukan penanaman akasia, pelepasan emisi karena kebakaran berkurang menjadi sebesar 5,60 ton karbon dioksida per hektar /tahun. Dengan demikian pemanfaatan lahan yang terdegradasi dapat mencegah pelepasan emisi sekitar 44,30 ton karbon dioksida/hektar per tahun. Lahan yang ditanami dengan akasia dengan sistem drainase terjadi pelepasan emisi sebesar 11,53 ton karbon dioksida per hektar/tahun. Di lokasi yang sama terdapat stok karbon dioksida sebagai baseline sekitar 3,68 ton per hektar per tahun. Tim Perubahan Iklim Badan Litbang Kehutanan (2010) melaporkan bahwa tanaman monokultur karet dapat menyerap karbon dioksida sebesar 14,24 ton per hektar per tahun. Weidelt (1995) dalam Nugraha dan Istoto (2007) melaporkan besarnya serapan karbon dioksida hutan alam tropika sekitar 7,34 ton per hektar per tahun dengan berat biomasa sekitar 4,00 ton. Menurut Rumbang et.al. (2009) bahwa pada lahan gambut yang ditanami karet yang tidak tergenang air melepas emisi karbon dioksida berkisar antara 4,90 ton ton per centimeter per hektar per tahun.Model-model agroforestri yang telah ada, hanya dirancang untuk memahami interaksi antara tanaman pertanian dengan kehutanan. Hasilnya menunjukkan bahwa sebagian besar berfokus pada produktivitas ekonomi namun kurang mendalami persoalan keanekaragaman hayati, kualitas udara, iklim, dan kontribusi sosial. Beberapa model seperti APSIM dan EPIC lebih lengkap dan terperinci serta cenderung menstimulasikan berbagai proses ekosistem namun masih memelukan tinjauan yang lebih mendalam sehingga dengan mengatasi hal-hal tersebut diharapkan bahwa agroforesrti dapat mengatasi tantangan-tantangan untuk mendukung pengambilan keputusan berkelanjutan (Kraft et al., 2021)2.2. Teori Agroforestri terhadap Mitigasi Perubahan Iklim dan Stok KarbonDalam bahasa Indonesia Agroforestri dikenal sebagai Wanatani, yaitu menanam pepohonan di lahan pertanian. Konsep Agroforestri dirintis pertama kali oleh Canadian International Development Centre, yaitu lembaga yang bertugas mengidentifikasi prioritas pembangunan bidang kehutanan di negara-negara berkembang pada tahun 1970-an. Hasil identifikasi menunjukkan hutan-hutan di negara berkembang belum dimanfaatkan secara optimal. Di pihak lain ditemukan kegiatan-kegiatan yang mengarah pada pengrusakan lingkungan. Kegiatan tersebut perlu dicegah melalui pengelolaan lahan yang dapat mengawetkan lingkungan fisik secara efektif, sekaligus dapat memenuhi kebutuhan pangan, papan dan sandang bagi manusia (Suryani & Dariah, 2012)Agroforestri sebagai salah satu solusi dalam pengolahan lahan berkelanjutan dumana perubahan iklim mendorong peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atsmofer bumi yang telah menimbulkan dampak negative seperti kenaikan suhu global, perubahan pola curah hujan. Pola interaksi dalam Agroforestri dalam kondisi tertentu mungkin dpat dilakukan misalnya saja, jika pohon dan spesies yang dipilih saling melengkapi dalam penggunaan air tanah sehingga pola sistem agroforestri makin dapat meningkatkan produktivitas dalam situasi dimana sumber daya yang terbatas (Langley & Zabin, 2008)Pohon buah-buahan dan kayu berumur panjang mampu menyimpan karbon lebih banyak bila dibandingkan dengan tanaman semusim. Hasil pengukuran karbon tersimpan pada kawasan kelola dalam rentang waktu antara 10-40 tahun rata-rata 44 ton/hektar atau sekitar 40% dari hutan sekunder yang menyimpan karbon sekitar 114 ton/hektar. Lahan milik memiliki cadangan karbon di atas permukaan tanah relatif tinggi yaitu 72 ton per hektar, bila dibandingkan dengan lahan yang belum mendapat ijin HKm (47 ton per hektar) dan lahan yang telah mendapat ijin HKm (33 ton/hektar). Tingginya proporsi tanaman kayu dan MPTs yang mencapai 90% dari total jumlah tanaman dalam suatu luasan memberikan sumbangan terhadap karbon tersimpan yang cukup besar. Sementara itu, pada kawasan kelola yang mendapat ijin HKm dan yang belum, proporsi tanaman kayu dan MPTs masih sekitar 40-60% dan proporsi tanaman perkebunan sekitar 27% di HKm ijin, 48% di HKm non ijin (Rahayu et al., 2010)
BAB 3 . HASIL PEMBAHASAN
3.1. Mekanisme Penyerapan Karbon dalam Sistem Agroforestri
Sebagaimana penjelasan Prof. Dr. Sc. Agr. Yusran, S.P., M.P. (2024) melalui power point dalam mata kuliah Agroforestri Lanjutan Pascasarjana Universitas Tadulako yang membagi sistem agroforestri pada tiga zona yang terlibat dalam interaksi pohon-tanah-tanaman non pohon yaitu Zona A (zona interaksi atas tanah, Zona B (zona lapisan tanah atas yang merupakan interaksi antara beberapa tanaman) dan Zona C (zona lapisan tanah bawah yang didominasi oleh akar dari satu macam tanaman) sementara dalam penjelasan kuliah oleh Prof. Dr. Ir. Syukur Umar (2024) pada Mata Kuliah Agroforestri Lanjutan Pascasarjana Universitas Tadulako dijelaskan bahwa hal itu disebut dengan “zona kritis” yaitu lapisan tipis pada bagian bumi kita, mulai dari lapisan pohon bagian tajuk hingga lapisan bumi yang berperan dalam siklusair dalam sebuah sistem penyerapan karbon oleh tanaman. Pada jurnal (Ramachandran Nair et al., 2010) Mekanisme penyerapan karbon dalam sistem ini melalui dua kompartemen utama yaitu di atas permukaan tanah melalui vegetasi tumbuhan dan melalui bawah permukaan tanah melalui penyimpanan karbon.Sistem penyerapan karbon pada tingkat vegetasi diatas permukaan tanah yaitu pohon-pohon dalam sistem agroforestri ini menyerap karbondioksida (CO2) dari atsmofer melalui proses fotosintesis sehingga menghasilkan biomasa berbentuk kayu, daun dan akar yang berfungsi sebagai penyimpanan karbon jangka panjang. Biomasa ini dapat menyimpan karbon dalam jumlah tertentu bahkan mungkin besar dibandingkan dengan sistem pertanian dengan sistem pertanian monokultur atau padang rumput sebagaimana bahasan chapter 9 pada buku Ecological Basis of Agroforestri seperti di Petagonia (Langley & Zabin, 2008). Pohon berdaun lebar (spesies C3) misalnya, memiliki kemampuan lebiih baik dalam menyimpan karbon dibandingkan dengan tanaman berjenis C4 di dalam tanah. Vegetasi dalam agroforestri juga dapat memanfaatkan sumber matahari, nutrisi dan air dengan lebih efisien sehingga dapat meningkatkan produktivitas biomasa. Sistem ini memungkinkan struktur multistrata yang menciptakan lingkungan mikro yang lebih baik untuk mendukung pertumbuhan tanaman dan efisiensi penyerapan karbon.Di Bawah permukaan tanah, tanah memainkan peran sebagai reservoir utama karbon. Karbon organic yang berasal dari serasah daun, akar yang membusuk dan menghasilkan dekomposisi mikroorganisme yang diserap oleh tanah melalui akar dan hasil dekomposisi mikroorganisme diserap oleh tanah. Dalam konteks agroforestri, kandungan karbon organik tanah umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan sistem tanpa pohon. Pohon-pohon dalam sistem ini memperkaya tanah melalui kontribusi serasah yang terurai menjadi bahan organik, yang kemudian diintegrasikan ke dalam struktur tanah. Selain itu, akar pohon yang dalam membantu membawa karbon ke lapisan tanah yang lebih bawah, memberikan stabilitas jangka panjang pada simpanan karbon tersebut.Dalam sistem agroforestri, pola tanam yang berbeda dapat menghasilkan perbedaan biomasa karbon selaras dengan hasil analisis yang dilakukan oleh (Wulandari et al., 2021) pada pola tanam agroforestri sederhana, menunjukan bahwa jumlah biomassa pohon hidup pada pohon dengan diameter >30 cm adalah 46.1 ton/ha dan 46.34 ton/ha pada pohon dengan diameter 5-30 cm. Dari data tersebut terlihat perbedaan bahwa biomassa pohon hidup pada pola tanam agroforestri kompleks lebih besar dari biomassa pohon hidup pada pola tanam agroforestri sederhana. Hal ini terjadi karena jumlah dan jenis pohon pada pola tanam agroforestri kompleks lebih banyak dibandingkan dengan pola tanam agroforestri sederhana sehingga biomassa yang diperoleh lebih besar pada agroforestri kompleks seperti yang ditinjukan pada tabel berikut:
Tabel 1. Biomassa tanaman pada pola tanaman agroforestri sederhana dan agroforestri kompleks
Sumber : Wulandari et al., 2021
Selain itu, keanekaragaman hayati yang lebih tinggi dalam sistem agroforestri, baik di atas maupun di bawah tanah, memberikan kontribusi pada efisiensi daur ulang nutrisi dan stabilitas ekosistem. Interaksi antarspesies, baik antara pohon dan tanaman atau antara pohon dan mikroorganisme tanah, menciptakan sinergi yang mendukung produktivitas dan penyerapan karbon. Dalam sistem multistrata, misalnya, kombinasi pohon, semak, dan tanaman bawah meningkatkan kapasitas total penyerapan karbon karena setiap lapisan memiliki peran spesifik dalam menangkap energi matahari dan memanfaatkan nutrisi tanah.Dalam skala yang lebih besar, agroforestri juga memberikan manfaat lingkungan dengan mengurangi emisi karbon dari sistem pertanian. Pohon-pohon dalam agroforestri tidak hanya menyerap karbon tetapi juga bertindak sebagai penahan angin dan pengendali erosi, yang secara tidak langsung mencegah kehilangan karbon dari tanah. Sistem ini juga mengurangi aliran air permukaan dan meningkatkan infiltrasi, yang membantu menjaga kesuburan tanah dan cadangan karbon organic. Dengan kemampuan menyerap karbon di dalam tanah, agroforestri menjadi salah satu strategi penting untuk mitigasi perubahan iklim. Namun, efektivitas sistem ini sangat bergantung pada faktor lingkungan dan pengelolaan yang tepat, termasuk pemilihan spesies pohon, pengaturan kepadatan, dan siklus rotasi hingga model agroforestri yang diterapkan. Dengan adanya peluang untuk perdagangan karbon, sistem agroforestri tidak hanya berkontribusi pada mitigasi perubahan iklim tetapi juga memberikan manfaat ekonomi bagi petani, terutama di negara berkembang.Pada jurnal yang ditulis oleh (Nurrochmat et al., 2024) disebutkan pengukuran biomassa dan kandungan karbon menggunakan metode perbedaan stok dengan plot sampling 20x20m, didukung analisis citra satelit untuk pemetaan perubahan tutupan lahan dalam 5 tahun terakhir mampu menyerapan karbon sebesar 2.500 ton CO₂/tahun melalui pendekatan agroforestri terpadu yang mendukung target nasional.
3.2. Manfaat Lain Agroforestri Selain Mitigasi Perubahan Iklim
Selain perannya yang krusial dalam menyerap karbon dan mengurangi dampak perubahan iklim, penerapan sistem agroforestri juga membawa sejumlah manfaat tambahan yang signifikan bagi lingkungan dan masyarakat. Agroforestri terbukti efektif dalam meningkatkan kualitas tanah melalui peningkatan kandungan bahan organik, perbaikan struktur tanah, dan pengurangan erosi. Hal ini berdampak positif pada produktivitas tanah jangka panjang dan keberlanjutan sistem pertanian. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh (Sagiarti et al., 2020) menunjukkan bahwa penerapan sistem agroforestri di Beken Jaya di Kabupaten Kuantan Singingi sudah berhasil meningkatkan kadar bahan organik tanah sebesar pH 5,88 – 6,41 (kiteria agak masam), C-organik tanah 0,25 % - 1,18 % (kriteria sangat rendah sampai rendah), N-total 0,30 -1,16 % (kriteria sedang sampai sangat tinggi),dan Nilai C/N 0,24 – 3,97 (kriteria sangat rendah) dalam waktu tujuh tahun. Hal ini sejalan dengan temuan (Nurrohman et al., 2015) yang menyatakan bahwa akar pohon dalam sistem agroforestri dapat meningkatkan agregasi tanah dan mengurangi erosi.Lebih lanjut, sistem agroforestri juga berperan penting dalam menjaga ketersediaan air. Dengan adanya pohon-pohon dalam sistem agroforestri, infiltrasi air ke dalam tanah meningkat, sehingga mengurangi limpasan permukaan dan risiko banjir. Selain itu, pohon-pohon ini juga dapat berfungsi sebagai penahan angin, mengurangi penguapan air, dan menjaga kelembaban tanah. Dengan kanopi yang luas, pohon-pohon dalam sistem agroforestri mampu menyerap sebagian besar curah hujan, mengurangi dampak erosi akibat tetesan air hujan. Sistem perakaran yang ekstensif menciptakan ruang pori dalam tanah, meningkatkan kapasitas infiltrasi air dan penyimpanan air tanah. Selain itu, keberadaan pohon juga mengurangi penguapan air dari permukaan tanah, sehingga menjaga kelembaban tanah lebih lama. Singkatnya, agroforestri berkontribusi dalam menjaga keseimbangan air di suatu area, mengurangi risiko kekeringan dan banjir. Sebagaimana pendapat (Suprayogo et al., 2002) menyatakan bahwa agroforestri yang menggunakan model seperti WaNuLCAS menunjukkan bahwa pohon dalam agroforestri tidak hanya mengurangi kehilangan air dari sistem tanah-tanaman melalui drainasi vertikal tetapi juga meningkatkan efisiensi penggunaan air oleh berbagai komponen tanaman. Dengan demikian, agroforestri berkontribusi pada pengelolaan air yang lebih berkelanjutan, baik di tingkat lahan maupun lanskap.
Manfaat lainnya dengan agroforestri mempertahankan keanekaragaman hayati dengan lebih beragam bagi berbagai jenis flora dan fauna pada suatu lahan. Adanya berbagai jenis tanaman dalam satu sistem agroforestri menyediakan sumber makanan dan tempat tinggal bagi berbagai organisme, sehingga mendukung keseimbangan ekosistem. Seperti penelitian oleh (Tscharntke et al., 2015) yang menyatakan bahwa agroforestri terutama pada tanaman kopi dan kakao dapat memberikan habitat yang mendukung keanekaragaman hayati dengan meningkatkan kepadatan dan keragaman pada nanunga, mempertahankan konektivitas ekosistem alami serta menyediakan koridor bagi satwa liar.
Terakhir, agroforestri juga memberikan manfaat ekonomi bagi petani. Diversifikasi tanaman dalam sistem agroforestri memungkinkan petani memperoleh pendapatan yang lebih stabil dan berkelanjutan. Hal ini sependapat dengan penelitian (Nurrochmat et al., 2024) yang menyatakan bahwa proyeksi pendapatan bersih petani sangat menjanjikan yaitu dengan luasan program agroforestri di Garut Jawa Barat dengan luasan 52,86 Hektar untuk tanaman kopi dan alpukat serta kayu keras memperoleh keuntungan bersih Rp. 596.567.022,- per hektar setiap tahun dan dapat memberikan jaminan keberlanjutan ekonomi bagi petani dan investor.Selain produk utama seperti kayu dan buah-buahan, agroforestri juga dapat menghasilkan produk sampingan seperti pupuk organik dan pakan ternak.
3.3. Tantangan dan Penerapan Agroforestri
Di banyak negara, agroforestri juga berkontribusi pada pengembangan ekonomi lokal. Praktik ini menciptakan lapangan kerja baru, baik dalam sektor pertanian maupun pengolahan hasil pertanian. Dengan mengembangkan produk-produk bernilai tambah, seperti kayu olahan atau produk makanan dari hasil agroforestri, masyarakat lokal dapat meningkatkan pendapatan mereka. Selain itu, agroforestri dapat menarik wisatawan yang tertarik dengan keberagaman alam dan budaya, sehingga memberikan manfaat ekonomi tambahan bagi komunitas lokal. Namun, implementasi agroforestri tidak selalu tanpa tantangan. Salah satu tantangan utama adalah perlunya pengetahuan dan keterampilan yang tepat dalam mengelola sistem agroforestri. Petani perlu dilatih untuk memahami bagaimana mengintegrasikan berbagai jenis tanaman dan pohon dalam lahan mereka, serta bagaimana mengelola sumber daya secara berkelanjutan. Selain itu, akses terhadap modal dan sumber daya juga dapat menjadi kendala, terutama bagi petani kecil yang tidak memiliki cukup dana untuk memulai praktik agroforestri. Kebijakan pemerintah juga berperan penting dalam mendukung pengembangan agroforestri. Dukungan berupa subsidi, pelatihan, dan akses ke pasar dapat mendorong lebih banyak petani untuk mengadopsi praktik ini. Selain itu, pemerintah dapat membantu dengan menyediakan penelitian dan pengembangan untuk menemukan varietas tanaman dan pohon yang paling cocok untuk sistem agroforestri di berbagai wilayah. Dengan adanya dukungan yang memadai, agroforestri dapat berkembang dengan baik dan memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat dan lingkungan. Agroforestri juga dapat berkontribusi pada penyelamatan dan pelestarian tradisi lokal. Banyak komunitas memiliki pengetahuan yang kaya tentang cara mengelola lahan mereka secara berkelanjutan. Melalui praktik agroforestri, pengetahuan dan tradisi ini dapat diteruskan kepada generasi mendatang. Dalam banyak kasus, pendekatan agroforestri dapat disesuaikan dengan praktik pertanian tradisional, sehingga memperkuat identitas budaya dan keberlanjutan ekonomi masyarakat. Selanjutnya, dalam konteks global, agroforestri dapat menjadi bagian dari upaya mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Dengan mengurangi kemiskinan, meningkatkan ketahanan pangan, dan melindungi lingkungan, agroforestri mendukung banyak tujuan yang tercantum dalam Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan. Dalam hal ini, agroforestri dapat berfungsi sebagai jembatan antara pertanian dan konservasi, menciptakan sistem yang saling menguntungkan bagi manusia dan alam. Sebagai bagian dari upaya global untuk menghadapi tantangan perubahan iklim, agroforestri juga mendukung inisiatif konservasi yang lebih luas. Dengan meningkatkan keanekaragaman hayati dan memperbaiki ekosistem, agroforestri dapat membantu menjaga 5 keseimbangan ekologi dan mendukung fungsi ekosistem yang penting. Oleh karena itu, praktik ini tidak hanya bermanfaat bagi petani, tetapi juga bagi seluruh planet. Di banyak negara, masyarakat lokal telah mulai menyadari pentingnya agroforestri dalam meningkatkan keberlanjutan dan konservasi. Mereka mulai berkolaborasi dengan lembaga penelitian dan pemerintah untuk mengembangkan praktik agroforestri yang lebih baik. Dengan pengetahuan dan teknologi yang tepat, agroforestri dapat menjadi solusi yang efektif untuk mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi oleh sistem pertanian saat ini. Dari semua penjelasan di atas, terlihat bahwa agroforestri memiliki peran yang sangat penting dalam meningkatkan keberlanjutan pertanian dan konservasi lingkungan. Dengan pendekatan yang tepat, agroforestri tidak hanya dapat memberikan manfaat ekonomi bagi petani, tetapi juga membantu menjaga keseimbangan ekosistem, meningkatkan ketahanan pangan, dan berkontribusi pada upaya mitigasi perubahan iklim. Pengembangan agroforestri harus didukung oleh berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga penelitian, dan masyarakat, agar manfaatnya dapat dirasakan secara luas dan berkelanjutan (Prasetio, n.d. 2023)
BAB 4 . KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan yang telah diuraikan, beberapa kesimpulan dapat diambil sebagai berikut:
- Sistem agroforestri yaitu kombinasi antara tanaman pertanian dan kehutanan dalam suatu lahan efektif dalam menyerap karbon melalui biomasa pohon dan tanah serta mampu memberikan kontribusi signifikan terhadap mitigasi perubahan iklim. Dimana agroforestri dengan tanaman berumur panjang yang dipadukan dengan tanaman pertanian yang berumur musiman memiliki potensi menyimpan karbon lebih besar dibandingkan dengan sistem pertanian monokultur;
- Sistem agroforestri mampu mendukung keberlanjutan ekosistem dengan meningkatkan keanekaragaman hayati, memperbaiki struktur tanah dan mengurangi resiko erosi;
- Sistem agroforestri mampu mendukung pendapatan ekonomo bagi para petani serta ikut berkontribusi terhadap ketahanan pangan pada masyarakat;
- Namun, kendala sumber daya manusia berupa pengetahuan para petani dan membutuhkan modal yang besar menjadi kendala dalam penerapan sistem agroforestri
4.2. Saran
Diperlukan konsistensi dan kolaborasi seluruh pihak baik petani, pemerintah, swasta dan akademisi dalam rangka memberikan manfaat agroforestri sebagaimana peran dalam mitigasi perubahan iklim dan ketersediaan stok karbon juga dukungan kapasitas dan peningkatan sumber daya manusia dalam penerapan sistem ini.
DAFTAR PUSTAKA
Asmani, Najib; Sjarkowi, Fachrurrozie; Susanto, Robiyanto H.; Hanafiah, Kemas Ali; Soewarso; Siregar, Chairil Anwar. 2011. Analisis Nilai Pendaman Karbon dan Manfaat Deforestasi Ekosistem Rawa Gambut Berbasis HTI Berpola SUPK. Disertasi. PPS Unsri. Palembang
Kraft, P., Rezaei, E. E., Breuer, L., Ewert, F., Große‐stoltenberg, A., Kleinebecker, T., Seserman, D. M., & Nendel, C. (2021). Modelling Agroforestri’s contributions to people—a review of available models. Agronomy, 11(11), 1–25. https://doi.org/10.3390/agronomy11112106Langley, K. E., & Zabin, I. (2008). Ecological Basis of Agroforestri. In CRV Press (Vol. 72, Issue 4).
Nugraha, A. dan Y.Ed. Istoto. 2007. Hutan, Industri dan Kelestarian. Penerbit Warna Aksara,Tangerang.
Nurrohman, E., Rahardjanto, A., & Wahyuni, S. (2015). Keanekaragaman makrofauna tanah di kawasan perkebunan coklat (Theobroma cacao l.) sebagai bioindikator kesuburan tanah dan sumber belajar biologi. JPBI (Jurnal Pendidikan Biologi Indonesia), 1(2).
Nurrochmat, N. A., Purwawangsa, H., Mutaqin, F., Ridwan, M., Qanitha, M., Mustakiman, Putra, S. A., Nurkholid, Y., & Perdhana, R. D. (2024). Productive Carbon Forest: Agroforestri with high economic forest commodities to increase carbon stocks and community welfare in Garut Indonesia. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 1315(1), 0–10. https://doi.org/10.1088/1755-1315/1315/1/012012
Prasetio, F. (2023). Peran Agroforestri dalam Meningkatkan Keberlanjutan Pertanian dan Konservasi Lingkungan. 1–8.
Rahayu, S., Setiawan, E., & Suyanto. (2010). Sistem Agroforestri di Kawasan Penyangga Hutan Lindung Sesaot: Potensinya sebagai Penambat Karbon. Policy Analysis Unit, Brief 07, 1–4.Ramachandran Nair, P. K., Nair, V. D., Mohan Kumar, B., & Showalter, J. M. (2010). Carbon sequestration in Agroforestri systems. Advances in Agronomy, 108(C), 237–307. https://doi.org/10.1016/S0065-2113(10)08005-3
Rondius, B. &. (2012). Agroforestri Dalam Pembangunan Rendah Emisi. World Agroforestri Centre (ICRAF) Southeast Asia, Bogor 2, 1–11.
Sagiarti, T., Okalia, D., & Markina, G. (2020). Analisis C-Organik, Nitrogen Dan C/N Tanah Pada Lahan Agrowisata Beken Jaya Di Kabupaten Kuantan Singingi. Jurnal AGROSAINS Dan TEKNOLOGI, 5(1), 11. https://doi.org/10.24853/jat.5.1.11-18
Suprayogo, D., Widianto, Lusiana, B., & van Noordwijk, M. (2002). Neraca air dalam Sistem Agroforestri. Bahan Ajar 7. Neraca Air Dalam Agroforestri, Ic, 129–139.
Suryani, E., & Dariah, A. (2012). Peningkatan Produktivitas Tanah Melalui Sistem Agroforestri. Jurnal Sumberdaya Lahan, 6(2), 101–109.
Tscharntke, T., Milder, J. C., Schroth, G., Clough, Y., Declerck, F., Waldron, A., Rice, R., & Ghazoul, J. (2015). Conserving Biodiversity Through Certification of Tropical Agroforestri Crops at Local and Landscape Scales. Conservation Letters, 8(1), 14–23. https://doi.org/10.1111/conl.12110
Wulandari, C., Harianto, S. p, & Novasari, D. (2021). Pendugaan Stok Karbon Pada Pola Tanam Agroforestri Sederhana Dan Agroforestri Kompleks Di Kph Batutegi, Kabupaten Tanggamus. Jurnal Belantara, 4(2), 113–126. https://doi.org/10.29303/jbl.v4i2.632
Rumbang, Nyahu; Radjagukguk, Bostang; dan Prajitno, Djoko. 2009. Emisi Karbon Dioksida (CO2) dari Beberapa Tipe Penggunaan Lahan Gambut di Kalimantan. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol.9 No.2 (2009) p:95-102.
Swallow, B, M. van Noordwijk, S. Dewi, D. Murdiyarso, D. White, J. Gockowski, G. Hyman, S.Budidarsono, V. Robiglio, V. Meadu, A. Ekadinata, F. Agus, K. Hairiah, P.N. Mbile, D.J. Sonwa, S.Weise. 2007. Opportunities for avoided deforestation with sustainable benefits. An Interim Report by the ASB Partnership for the Tropical Forest Margins. ASB Partnership for the Tropical Forest Margins, Nairobi, Kenya
Tim Perubahan Iklim Badan Litbang Kehutanan Kemenhut RI. 2010. Cadangan karbon pada berbagai tipe hutan dan jenis tanaman di Indonesia. Jakarta.
Umar, S. (2024) Agroforestry Lanjutan: (Presentasi PowerPoint). Materi Perkuliahan Agroforestry. Pasca Sarjana. Universitas Tadulako, Palu.
Yusran. (2024). Agroforestry Lanjutan: (Presentasi PowerPoint). Materi Perkuliahan Agroforestry. Pasca Sarjana. Universitas Tadulako, Palu.