11/04/07

Manifestasi Cinta (sebuah tinjauan viqarologi)

Tentu anda masih ingat sebuah penelitian "nakal" oleh salah seorang mantan aktivis mahasiswa yang menyebutkan bahwa 90,75% mahasiswa di Jogyakarta sudah tidak perawan.
Hal ini membuat para orang tua harus berhati-hati untuk "melepas anaknya" kuliah diluar daerah dan mengingatkan generasi muda untuk tidak sama sekali mencoba melakukan hubungan seks dengan pacar, kekasih atau dengan kata lain mengatasnamakan cinta dengan tujuan seks pranikah.
Terlepas dari perdebatan moralitas, seorang Iip Wijayanto membuktikan bahwa liberasasi seks sudah mewabah didepan kita. Bahkan kasus skandal salah seorang anggota dewan yang terhormat di negeri ini, membuka mata kita bahwa insting seks ada setiap diri manusia. Siapapun itu...
Pertanyaan yang muncul apakah cinta (dalam arti bumi) selamanya mengarah ke eksotisme?
Cinta merupakan manifestasi dari akal dan nafsu, berarti pemaknaan cinta berdampak pada tindakan sadar dan erotisme.
Manifestasi Cinta dari Alam Sadar
Menurut penulis, cinta dalam wilayah sadar ini menghasilkan cinta suci dan sejati. Saya mengartikan sebagai pilihan sadar untuk menitikberatkan pasangan kita pada setiap proses kebersamaan yang panjang, saling memberi, menerima dan saling mengisi. Pada tingkatan ini, parameter tidak lagi mempersoalkan aspek badaniah semata ataupun mempermasalahkan fisik yang aksiden.
Proses kebersamaan yang panjang itu, diabadikan untuk menuju sebuah kesucian hubungan yang saling berkonsistensi atau saling menyubordinasi. Cinta jenis ini akan mampu membuat medium pengubung antara dua jenis insane saling seimbang. Sebeb, Tak ada cinta yang tumbuh dalam kesewenang-wenangan.

Manifestasi Cinta dari Nafsu
Cinta jenis ini merupakan cinta yang paling primitif. Dapat diartikan sebagai "pemerkosaan atas nama cinta" dalam berkativitas seks. Parameter dari jenis ini adalah sifat badaniah / fisik yang (sangat) aksiden serta kepuasan biologis.
Banyak diantara kita yang memaknai cinta pada tingkatan ini; yang tidak mampu menyelami hakikat cinta. Mayoritas dari kita berusaha dengan segala cara untuk "dicintai" bukan "mencintai". Seorang lantas terjebak pada hubungan seks yang liberal karena takut tidak dicintai sang pacar.
Seorang merasa dicintai kekasihnya jika sudah biasa memberikan ataupun diberi kenikmatan senksual sebagai suatu ikatan mutlak. Padahal dalam "the art of Loving" filusuf Erich Fromm sudah menyerukan semakin sering orang merasa dicintai, maka semakin kerap pula ia akan hancur dan gagal, tidak terpenuhi eksistensinya.
Penulis buku "Tuhan Izinkan Aku Jadi Pelacur" Mujahiddin M Dahlan menyebutkan cinta jenis ini sama dengan cinta binatang. Sama-sama bertumpu pada dorongan "instingtif". Ciri adanya didominasi unsur erotis dalam diri manusia bias dilihat dari pribadi "yang tidak tahan diri". Karena itu pada tingkatan ini, manusia belum bisa dikatakan stabil-defenitif, tetapi masih bersifat labil-posesif.
Akhirnya, kini kita dihadapkan pada dua pilihan untuk memilih jenis apa. Dan setiap pilihan terdapat konsekuensi yang harus kita pertanggungjawabkan. Kalau selama ini kita ternyata hanya seorang penganut cinta kedua yang rajin membawa sang kekasih ditempat-tempat gelap seputaran kampus atau kamar-kamar pondokan, kini saatnya untuk hijrah ke tingkat; tingkatan cinta suci.
Memang diakui, dalam diri manusia terdapat libido atau dorongan seksual. Sigmund Frued menulis, ada tiga tingkatan sifat manusia, yaitu superego, ego dan id. Seseorang selalu ditawarkan dan diadakan oleh ambisi-ambisi rasionalitas ego dan moralitas superego. Dalam id itulah terdapat dorongan seksual yang disebut libido. Namun, itu bukan merupakan pembenar bagi liberalisasi seks. Kita bisa melampauinya dengan mengapai tingkatan cinta suci dan sejati diatas
Mari kita menyucikan seks dari daya hipokrit dan memaknai hubungan seks yang selama ini penuh nafsu kebinatangan menjadi lebih humanis dan adiluhur.