Di Kampus menunjukkan dikotomi yang tegas antara mahasiswa yang cerdas dan anak gaul. Keduanya seakan seperti minyak dan air, tidak bisa disatukan Citra remaja yang cerdas digambarkan kuper (kurang pergaulan), berkacamata tebal, kutu buku, sulit bergaul dan berdandan seperti orang kuno, dan terkucil dari trand anak muda. Pekerjaannya hanya kuliah dan kuliah. Belajar dan belajar. seakan dia hidup dilingkungannya sendiri, selalu menyendiri, serius dan jauh dari kesenangan tapi entah untuk urusan wanita. Jaringannya hanya kampus-perpustakaan-kamar-kaktus.
Sedangkan kelompok lainnya adalah favorit dan trandsetter bagi yang lainnya. Dunianya hanya dipenuhi hedonitas, hura-hura, mencari kesenangan belaka. Ada image yang tidak mengkuti gaya mereka sekarang ketinggalan jaman dan norak. Mungkin kelompok ini tidak tahu tujuan mengapa mereka melanjutkan kuliah, kecuali karena "memang sudah semestinya kuliah","buat nyari kerja" atau "buat gaul".
Maka terjadilah pengotak-ngotakan di kampus. Anak babe, Anak Mushala, Anak gaul, kutu buku, anak rohis, aktivis kampus dan sebagainya- dan sebagainya. Anak Senat menjadi ajang "pertempuran idiologis" mereka masing-masing. Kelompok pertama menuduh anak gaul tidak bermoral, bodoh, suka menghabiskan uang orang tua, kerjaannya cuma nongkrong dan tidak punya tujuan mulia. Kelompok kedua menuduh si kutu buku sebagai orang yang tidak bisa bersosialisasi, egois, berinteraksi dengan sebayanya.
Mungkin dikotomi ini terkesan ekstrim dan ada simplifikasi bila melihat dari kacamata massa kini. Tapi, pernah ada masa seperti itu dan sisanya masih ada sekarang.
Tentu saja ada kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Si kutu buku lebih pintar dalam konsepnya dan ada kecendrungan mempunyai "moral" yang baik. Doi juga penurut dan baik hati. Tetapi umunya mereka hanya pintar secara akademis, kurang pintar dalam memanfaatkan kepintaran dan memanfaatkan kepintarannya itu untuk orang lain. Buat apa ilmu kalau tidak dipergunakan untuk banyak orang dan mempunyai sosial skil yang rendah.
Sedangkan si anak gaul memang disukai oleh banyak orang. Umumnya humoris dan supel. Ngobrol dengan dia seakan tidak ada habisnya dan mengalir seperti air terus menerus. Tetapi cenderung citra negatif melekat pada dirinya ketika dalam wilayah kenakalan, pembangkan, pemalas, bodoh, manja, suka berpesta-fora. Kebanyajan rentan terhadap kenakalan tindak kriminal seperti narkoba dan seks bebas.
Dilapangan kedua sikap ini bisa berbaur dalam sebuah wadah yang namanya organisasi kemahasiswaan. Misalnya Himpunana Mahasiswa Jurusan, Senat Mahasiswa, Badan Eksekutif Mahasiswa, Unit Kegiatan Mahasiswa dan sebagainya. Ternyata menurut hemat saya, kita bisa cerdas secara akademis juga cerdas dalam pergaulan karena tidak bisa dipungkiri bahwa ketika kita terlibat dan menyatu pada sebuah organisasi maka dengan sendirinya akan melekat rasa solidaritas sesamanya sehingga terbentuklah pergaulan yang baik.
Memilih salah satu kelompok rasanya kurang bijak karena keduanya ada dititik ekstrim. Ada baiknya keseimbangan keduanya diperhatikan.
Ada kisah menarik tentang seorang lulusan perguruan tinggi yang mencari pekerjaan. Orang yang hedonist dan hanya dalam basis anak gaul, biasanya susah mencari pekerjaan kalaupun ada paling didalamnya ada unsur koneksitas. Sedangkan si kutu buku biasanya gampang mencari pekerjaan karena orientasi bursa kerja adalah cerdas akademis yang diwakili oleh Indeks Prestasi (IP).
Tetapi dalam sintesa keduanya bisa kalah oleh anak gaul yang cerdas dan setidaknya mengikuti kegiatan-kegiatan organisasi kemahasiswaan. Karena biasanya, aktivis mempunyai keahliah khusus yang tidak didapat dalam bangku kuliah ataupun konsep si kutu buku. Orang menjadi cerdas, kadangkala karena hidden curriculum (Kurikulum tersembunyi) yang ada dalam berbagai diskusi dan obrolan hangat sesamanya. Apalagi kalau ia mendalami salah satu atau banyak keahlian misalnya jurnalistik dan mendapat banyak kenalan dan koneksi orang sukses.
Satu lagi yang perlu ditekankan. Adalah sangat wajar ketika kita menjadi nakal. Nakal kultural, nakal sosial, dan nakal intelektual. Dan, adalah wajar ketika kita menjadi orang yang radikal, emoosional, idealis,dan pemberontak. Justru karena sifat seperi itulah, gerakan mahasiswa dipandang secara terhormat sebagai salah satu agent of control, agent social. Mengutip Nurcholis Madjid (Cak Nur) "Wajar mahasiswa menjadi "kiri" dan wajar setelah lulus dan mapan, mereka menjadi "kanan". Kalau dari mahasiswa saja sudah menjadi pro status quo, bagaimana kalau sudah lulus dan mapan?"
Sedangkan kelompok lainnya adalah favorit dan trandsetter bagi yang lainnya. Dunianya hanya dipenuhi hedonitas, hura-hura, mencari kesenangan belaka. Ada image yang tidak mengkuti gaya mereka sekarang ketinggalan jaman dan norak. Mungkin kelompok ini tidak tahu tujuan mengapa mereka melanjutkan kuliah, kecuali karena "memang sudah semestinya kuliah","buat nyari kerja" atau "buat gaul".
Maka terjadilah pengotak-ngotakan di kampus. Anak babe, Anak Mushala, Anak gaul, kutu buku, anak rohis, aktivis kampus dan sebagainya- dan sebagainya. Anak Senat menjadi ajang "pertempuran idiologis" mereka masing-masing. Kelompok pertama menuduh anak gaul tidak bermoral, bodoh, suka menghabiskan uang orang tua, kerjaannya cuma nongkrong dan tidak punya tujuan mulia. Kelompok kedua menuduh si kutu buku sebagai orang yang tidak bisa bersosialisasi, egois, berinteraksi dengan sebayanya.
Mungkin dikotomi ini terkesan ekstrim dan ada simplifikasi bila melihat dari kacamata massa kini. Tapi, pernah ada masa seperti itu dan sisanya masih ada sekarang.
Tentu saja ada kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Si kutu buku lebih pintar dalam konsepnya dan ada kecendrungan mempunyai "moral" yang baik. Doi juga penurut dan baik hati. Tetapi umunya mereka hanya pintar secara akademis, kurang pintar dalam memanfaatkan kepintaran dan memanfaatkan kepintarannya itu untuk orang lain. Buat apa ilmu kalau tidak dipergunakan untuk banyak orang dan mempunyai sosial skil yang rendah.
Sedangkan si anak gaul memang disukai oleh banyak orang. Umumnya humoris dan supel. Ngobrol dengan dia seakan tidak ada habisnya dan mengalir seperti air terus menerus. Tetapi cenderung citra negatif melekat pada dirinya ketika dalam wilayah kenakalan, pembangkan, pemalas, bodoh, manja, suka berpesta-fora. Kebanyajan rentan terhadap kenakalan tindak kriminal seperti narkoba dan seks bebas.
Dilapangan kedua sikap ini bisa berbaur dalam sebuah wadah yang namanya organisasi kemahasiswaan. Misalnya Himpunana Mahasiswa Jurusan, Senat Mahasiswa, Badan Eksekutif Mahasiswa, Unit Kegiatan Mahasiswa dan sebagainya. Ternyata menurut hemat saya, kita bisa cerdas secara akademis juga cerdas dalam pergaulan karena tidak bisa dipungkiri bahwa ketika kita terlibat dan menyatu pada sebuah organisasi maka dengan sendirinya akan melekat rasa solidaritas sesamanya sehingga terbentuklah pergaulan yang baik.
Memilih salah satu kelompok rasanya kurang bijak karena keduanya ada dititik ekstrim. Ada baiknya keseimbangan keduanya diperhatikan.
Ada kisah menarik tentang seorang lulusan perguruan tinggi yang mencari pekerjaan. Orang yang hedonist dan hanya dalam basis anak gaul, biasanya susah mencari pekerjaan kalaupun ada paling didalamnya ada unsur koneksitas. Sedangkan si kutu buku biasanya gampang mencari pekerjaan karena orientasi bursa kerja adalah cerdas akademis yang diwakili oleh Indeks Prestasi (IP).
Tetapi dalam sintesa keduanya bisa kalah oleh anak gaul yang cerdas dan setidaknya mengikuti kegiatan-kegiatan organisasi kemahasiswaan. Karena biasanya, aktivis mempunyai keahliah khusus yang tidak didapat dalam bangku kuliah ataupun konsep si kutu buku. Orang menjadi cerdas, kadangkala karena hidden curriculum (Kurikulum tersembunyi) yang ada dalam berbagai diskusi dan obrolan hangat sesamanya. Apalagi kalau ia mendalami salah satu atau banyak keahlian misalnya jurnalistik dan mendapat banyak kenalan dan koneksi orang sukses.
Satu lagi yang perlu ditekankan. Adalah sangat wajar ketika kita menjadi nakal. Nakal kultural, nakal sosial, dan nakal intelektual. Dan, adalah wajar ketika kita menjadi orang yang radikal, emoosional, idealis,dan pemberontak. Justru karena sifat seperi itulah, gerakan mahasiswa dipandang secara terhormat sebagai salah satu agent of control, agent social. Mengutip Nurcholis Madjid (Cak Nur) "Wajar mahasiswa menjadi "kiri" dan wajar setelah lulus dan mapan, mereka menjadi "kanan". Kalau dari mahasiswa saja sudah menjadi pro status quo, bagaimana kalau sudah lulus dan mapan?"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar