06/06/11

KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT ADAT SEKITAR KAWASAN KONSERVASI

Kondisi Masyarakat Adat Terpencil
Di beberapa kawasan konservasi (KK) terdapat komunitas adat  terpencil (KAT) atau masyarakat adat yang secara turun temurun mempunyai keberadaan yang otonom. Mereka memiliki wilayah tanah adat yang  dikuasai termasuk hutan (sebagai sumber penghidupan). Berbagai kekayaan yang ada di hutan dapat dikelola untuk kelangsungan hidupnya.
Dalam kaitannya dengan konservasi sumber daya alam khususnya hutan, masyarakat adat memiliki pengetahuan dan kearifan lokal dalam mengelola hutan.

Masyarakat adat adalah ”kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur secara turun temurun di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, edeologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan sepanjang menurut kenyataan masih ada dan diakui keberadaannya”.

Hak-hak Masyarakat Adat
UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pada Pasal 67 menyatakan bahwa masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataan masih ada dan diakui keberadaannya berhak:
  • Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan.
  • Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang, dan
  • Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.   
Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada Pasal 67 ayat (1) yang berbunyi hutan adat adalah ”hutan negara yang berada di dalam wilayah masyarakat adat”, ditetapkan dengan peraturan daerah (Perda). Sedangkan ayat (2) yang berbunyi ”penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat yang lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan ketrampilan” diatur dengan peraturan pemerintah (PP).  
 
Kearifan Lokal Masyarakat Adat sekitar Kawasan Konservasi
Berdasarkan hasil identifikasi dan inventarisasi masyarakat adat di KK, diketahui bahwa masih memiliki kearifan lokal dan masih diterapkan dalam kehidupan sehari-hari baik yang ada sejak ratusan tahun silam maupun yang ada sejak jaman penjajahan.
Setiap desa memiliki adat yang berbeda-beda. Dari segi sejarah masyarakat yang ada, secara garis besar dapat dibagi dalam 2 kelompok yaitu:
•Masyarakat adat yang syah (sudah ada sebelum jaman Belanda).
•Masyarakat adat yang diakui oleh Belanda (dalam pembentukan peta desa yang masih berlaku hingga sekarang). 
Hukum Adat
Berbagai hukum adat yang ada pada umumnya mengandung isyarat atau makna:
  1. Suatu wujud implementasi lahiriah dari setiap orang berupa; tingkah laku, perangai, tabiat, tata sosial, tata krama, budi pekerti.
  2. Aplikasi dalam bentuk upacara ritual keagaam / adat istiadat berupa; pernikahan, pertanian, dan sosial kemasyarakatan.
  3. Kedua hukum adat tersebut di atas mengandung makna universal yaitu suatu aturan/sistem hukum yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, secara utuh dan bernuansa religi, baik secara individu maupun sosial kemasyarakatan yang diharapkan dapat menciptakan:
  4. Suasana ketertiban, ketentraman, kedamaian, keselamatan, kebahagiaan di lingkungan masyarakat.
  5. Harmonisasi hubungan secara vertikal dan horisontal yaitu hubungan Antar individu orang-perorang, Antar suami-istri,Antar anak-orang tua, Antar tetangga,Antar masyarakat dan pemerintah, Antar manusia dengan alam lingkungannya, Antar manusia dengan Sang Pencipta. 
Mekanisme Penyelesaian Masalah Status Tanah/Lahan dan Pengadaan Kayu untuk Masyarakat Adat 
Berdasarkan kearifan lokal masyarakat adat di KK terkait dengan status tanah/lahan dan pemanfaatan kayu untuk rumah/tempat tinggal, dalam pengaturannya memiliki sanksi/hukuman yang diberikan berbeda antar satu desa dengan desa adat yang lainnya, namun hal ini tetap dianggap sebagai kekayaan budaya yang harus dijaga.

Contoh :
Kearifan Adat NGATA TORO di TN. Lore Lindu
Bagi masyarakat adat Toro, sistem pembentukan zona  adalah sudah turun temurun yang diakui oleh semua warga Toro dan saling menghormati untuk menjaga daerah ini sebagai satu aset yang dipertahankan.

Persepsi masyarakat dalam hal ini adalah bagaimana agar anak cucu mereka dapat mengenal lingkungan mereka sendiri untuk dapat dilestarikan.

Dalam kepemilikan lahan, masyarakat Toro mengenal 6 Tata Guna Lahan secara tradisional, yaitu 

1. Wana Ngikiki
Adalah zona di puncak gunung yang didominasi oleh rerumputan, lumut dan perdu. Zona ini tidak dijamah aktivitas manusia. Kawasan ini dianggap sebagai sumber udara segar (WINARA), sehingga kedudukannya sangat penting. Hak kepemilikan individu tidak diakui.
2. Wana
Adalah hutan primer yang menjadi habitat hewan, tumbuhan langka dan zona tangkapan air. Di zona ini setiap orang dilarang membuka lahan pertanian.
Kawasan ini hanya dimanfaatkan untuk kegiatan berburu dan mengambil getah damar, bahan wewangian, obat-obatan dan rotan. Dikuasai secara kolektif sebagai wilayah kelola tradisional masyarakat.
3.  Pangale
Adalah hutan semi-primer yang pernah diolah menjadi kebun tetapi telah ditinggalkan selama puluhan tahun sehingga telah berhutan kembali. Zona ini dipersiapkan sebagai lahan kebun atau sawah. Kawasan ini juga dimanfaatkan  untuk mengambil rotan dan kayu untuk bahan bangunan/rumah tinggal dan keperluan rumah tangga, pandan hutan untuk membuat tikar dan bakul, bahan obat-obatan, getah damar dan bahan wewangian.
4. Pahawa Pongko
Adalah campuran hutan semi-primer dan sekunder, merupakan hutan bekas kebun yang telah ditinggalkan selama 25 tahun lebih, sehingga kondisinya menyerupai pangale. Pohonnya biasanya besar-besar. Jika seseorang menebang pohon di kawasan ini, maka harus menyisakan dahan atau tonggak yang memungkinkan pohon tersebut bertunas kembali atau menjadi pengganti dari dahan yang ditebang.
5. Oma 
Hutan belukar yang terbentuk  dari bekas kebun yang sengaja dibiarkan untuk diolah lagi dalam jangka waktu tertentu. Di zona ini hak kepemilikan lahan pribadi diakui.
6. balingkea
Bekas kebun yang sudah berkurang kesuburannya dan sudah diistirahatkan. Biasanya diolah untuk budidaya palawija (jagung, ubi kayu, kacang-kacangan, mrica, sayur-sayuran, dll). Lahan merupakan hak kepemilikan pribadi, biasanya digunakan untuk bertani sawah.

Tidak bisa dipungkiri bahwa hukum adat khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan SDA, masih dilanggar oleh masyarakat setempat. Setiap pelanggaran dikenakan sanksi sesuai dengan hukum adat yang berlaku yang disebut dengan GIWU.
Beberapa kegiatan masyarakat adat yang berhubungan dengan pengelolaan sumber daya alam di kawasan konservasi umumnya membentuk badan/organisasi untuk mengawal dan mengawasi aturan-aturan adat yang sudah disepakati.

Selain di TN. Lore Lindu, KAT juga terdapat dibeberapa Unit Pelaksana Teknis Ditjen PHKA lainnya, antara lain: Balai Besar TN. Kerinci Seblat, TN. Bukit Dua Belas, TN. Tessonilo, TN.
Bukit Tigapuluh, TN. Batang Gadis, TN. Wasur, TN. Lorentz, TN. Kayan Mentarang, BKSDA Jambi, BKSDA Kaltim, BKSDA Kalteng, dan masih banyak lagi.
Beberapa kegiatan masyarakat adat yang berhubungan dengan status tanah/lahan dan pemanfaatan kayu di UPT Ditjen PHKA pada umumnya sanksi dan hukum adatnya tidak jauh berbeda.


Kesimpulan
Alam dan hutan merupakan hal yang tidak terpisahkan dari pola kehidupan masyarakat adat. Semuanya hampir tergantung dengan kawasan konservasi, hal ini terlihat dari budaya dan adat istiadat  masyarakat dan perkampungan masyarakat adat yang lebih banyak  memilih daerah tempat tinggal di dalam dan sekitar kawasan konservasi.

Ketergantungan  masyarakat tersebut tidak jauh dari pola kehidupan masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan konservasi, karena menyediakan beraneka macam bahan makanan, seperti; daging hewan, ikan, sayur-sayuran mulai pucuk hingga ke akar, umbi-umbian, madu, rotan, getah, damar, bahan obat-obatan, wewangian dan juga bangunan rumah/tempat tinggal.  Namun dalam pemanfaatannya tidak lepas dari hukum adat yang telah disepakati.




Tidak ada komentar: