Oleh :
Zulfikar Andi Burhan Andi Aziz
(tulisan ini dikirim pada beberapa artikel majalah kehutanan indonesia)
(tulisan ini dikirim pada beberapa artikel majalah kehutanan indonesia)
Banyak presepsi dan pendapat tentang penyebab kerusakan hutan oleh beberapa kalangan rimbawan. Ada yang berpendapat bahwa kerusakan hutan adalah akibat kurangnya kombinasi antara manusia, kebijakan pemerintah, system ekonomi dan politik yang penuh nuansa korupsi, kolusi dan nepotisme. Atau kerusakah hutan dapat disebabkan oleh perbuatan-perbuatan manusia (anthroposeres) dan atau oleh gangguan alam itu sendiri. Kerusakan hutan pada umumnya disebabkan oleh semakin renganggnya hubungan antara manusia terhadap hutan itu sendiri baik dari segi paradigma berfikir maupun dari segi kebutuhan manusia akan hidup yang tergantung dari hasil hutan kayu dan bukan kayu yang bernilai ekonomis. Dengan kata lain, kelestarian hutan hanya dapat diwujudkan ketika masih terdapat harmonisasi antara manusia itu sendiri dan hutan dengan segala problematikanya. Dilain pihak beberapa masyarakat sekitar hutan yang selama bertahun-tahun hidup dalam hubungan harmonisasi dengan hutan dan hasil hutan tidak dapat memanfaatkan sumber daya alam ini karena pada sisi lain terdapat segelintir orang yang memonopoli pengusahaan hutan tersebut. Sisi ini menyebabkan masyarakat tersebut menggunakan segala cara seperti perambahan dan pencurian kayu.
Perambahan hutan kini bahkan sudah menjadi masalah kompleksitas dunia internasional, hal ini dengan dicanangkannya oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui resolusi 61/193 telah memproklamirkan bahwa Tahun 2011 sebagai Tahun Kehutanan Internasional, sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran pada pihak dalam pengelolaan hutan yang lestari untuk kepentingan generasi sekarang maupun yang akan datang.
Perambahan hutan dapat diartikan Individu maupun kelompok dalam jumlah yang lebih kecil maupun besar yang menduduki suatu kawasan hutan untuk dijadikan areal lain baik perkebunan, pertanian, pertambangan dan lain sebagainya yang bersifat sementara atupun dalam waktu yang cukup lama pada kawasan hutan negara yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah secara illegal dan tidak sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi.
Perambahan banyak disebabkan karena lebih kepada kepentingan individu akibat keterdesakan sempitnya lahan usaha masyarakat. Termaksud dalam kategori ini masyarakat masih mempraktekkan pola perladangan berpindah walaupun umumnya mereka mengetahui bahwa kawasan hutan negara tidak serta merta mereka dapat miliki.
Dewasa ini terdapat 10 juta lebih peladang berpindah atau pemukim yang menetap di dalam kawasan hutan negara. Kemudian, faktor pemicu deforestasi berikutnya adalah kebakaran hutan (baik disengaja maupun tidak) yang masih sulit dikendalikan dan memusnahkan jutaan hektar hutan alam serta hutan tanaman dalam beberapa tahun terakhir.
Penyebab lainnya adalah kegiatan konversi lahan hutan ke usaha non-kehutanan yang menurut Bank Dunia 67 persen dari penyebab deforestasi akibat perambahan. Konversi hutan ini antara lain dilakukan untuk hutan tanaman industry (HTI), perkebunan, pertambangan, pertanian, transmigrasi dan sebagainya. Luas areal perkebunan (baik perkebunan besar maupun perkebunan rakyat) terus meningkat dari tahun ke tahun. Pertumbuhan luas paling spektakuler terjadi pada perkebunan kelapa sawit, yakni rata-rata 14 persen per tahun. Tidak jarang, pengembangan kebun kelapa sawit menjadi kedok untuk mencuri kayu. Tidak adanya tindakan tegas terhadap praktik serupa di masa lalu membuat praktik seperti ini kembali muncul akhir-akhir ini seperti yang dikutip dalam situs http://j.mp/nspVPt
Ada beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat sekitar hutan melakukan perambahan. Kedekatan serta ketergantungan masyarakat yang hidup di sekitar kawasan hutan dengan hutan tersebut, menyebabkan adanya interaksi masyarakat dengan hutan di sekitarnya. Walaupun pada awalnya interaksi antara masyarakat dan hutan terjadi dengan tetap memperhatikan aspek pelestarian alam, tetapi dengan semakin berkembangnya peradaban dan kebutuhan, maka interaksi yang terjadi antara masyarakat dengan hutan sudah mulai bergeser.
Masyarakat desa pada umumnya hanya mengendalikan sumber mata pencarian dari sektor pertanian. Keterbatasan lahan yang dimiliki oleh setiap keluarga serta peningkatan kebutuhan menyebabkan sebagian masyarakat kurang mampu melakukan perambahan hutan untuk memperluas areal dan produksi pertaniannya. Semakin tinggi perambahan yang dilakukan maka semakin tinggi pula tingkat kesejahteraan yang dimilikinya. Selain itu tingkat kesejahteraan yang dimiliki oleh masyarakat disekitar hutan relatif kurang mampu. Rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat disekitar hutan menyebabkan rendahnya tingkat pemenuhan ekonomi yang semakin meningkat ditandai dengan jumlah anggota keluarga dan perubahan jaman menyebabkan masyarakat disekitar hutan mengambil jalan pintas dengan melakukan perambahan. Rendahnya kesejahteraan masyarakat disekitar hutan juga melatarbelakangi mereka dalam berbagai aktivitas pemanfaatan sumber daya alah tanpa memperhatikan aspek kelestariannya. Sehingga kepentingan jangka pendek yang merugikan seringkali digunakan tanpa memperhatikan jangka panjangnya.
Terkait dengan hal-hal semacam itu maka sangat sulit memunculkan kesadaran bersama. Sebab pemerintah dalam hal ini tidak mempunyai data dan kondisi hutan yang akurat. Bukan saja data potensi sumberdaya alam tapi juga potensi rawan bencana alam, gunung meletus, lahan pertanian, hutan, lahan tidur, dan daerah aliran sungai yang seharusnya menjadi perhatian, malah terkesan terabaikan.
Sebagaimana pendapat khearul yang dikutip dalam tulisan berjudul Hutan adalah Jantung ekosistem bahwa beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat melakukan perambahan adalah faktor ekonomi, faktor pendidikan, faktor alam (kesuburan tanah), adanya sponsor, keterbatasan petugas pengawasan hutan dan pelaksanaan sanksi hukum.
Tingkat kesuburan tanah cukup tinggi, dengan tingkat kesuburan tanah yang tinggi menyebabkan masyarakat disekitar hutan tergiur untuk membuka lahan baru. Sebelum melakukan perambahan, banyak masyarakat yang tidak memiliki lahan. Setelah mereka melakukan perambahan maka luasan lahan mereka semakin bertambah yang notabene lokasinya rata-rata berada didekat rumah mereka.
Dilain pihak, sudah menjadi rahasia umum bahwa terjadinya perambahan khususnya pencurian kayu tidak dilakukan sepihak oleh perambah itu sendiri, tetapi karena adanya pihak lain yang pihak lain yang mempunyai kepentingan akan pengusahaan kayu. Dalam hal ini, kegiatan erambahan hutan lebih ditunjukkan pada penebangan liar dan pencurian kayu. Penebangan dan pencurian kayu dilakukan oleh masyarakat karena adanya pihak-pihak yang menampungnya baik memfasilitasi sarana prasarana maupun membeli hasil perambahan tersebut. Bahkan ada yang menjadi sponsor karena tidak jarang masyarakat menerima uang muka terlebih dahulu sebelum melakukan pencurian kayu.
Faktor lain yang menyebabkan perambahan adalah keterbatasan polisi kehutanan serta saran dan prasarana yang dimiliki untuk tujuan pengawasan terhadap masyarakat yang melakukan perambahan. Ataupun setelah petugas polisi kehutanan melakukan penangkapan maka pelaksanaan sanksi hukum yang kurang tegas terhadap perambah hutan itu sendiri.
Akses jalan menuju kawasan juga sangat mempengaruhi terhadap kelestarian alam. Kemudahan bagi masyarakat perambah menuju ke kawasan akan menstimulus bagi mereka untuk membuka lahan-lahan didalam kawasan hutan. Tersedianya akses jalan akan memudahkan bagi mereka untuk mengangkut barang kebutuhan maupun hasil produksi dari lahan yang diusahakan. Aktivitas tambang didalam kawasan juga menjadi penyebab masuknya masyarakat kedalam kawasan hutan. Biasanya adanya aktivitas tambang, masyarakat semakin banyak melakukan perambahan yang berakibat semakin memperparah kondisi kawasan itu sendiri. Jalan tambang merupakan salah satu aksebilitas perambah kedalam kawasan hutan maka kegiatan perambah akan semakin kedalam bahkan kegiatan perambahan dapat mereka lakukan beberapa kilometer lebih jauh kedalam lagi.
Berbagai masalah perambahan hutan dan pencurian kayu dapat dilakukan melalui kebijakan-kebijakan seperti melakukan inventarisasi perambah hutan. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan data yang akurat tentang jumlah perambah dan luas hutan yang dirambah. Untuk melakukan penurunan perambah hutan dapat dilakukan dengan metode persuasif, yaitu dengan memberikan pengertian-pengertian sehingga perambah bersedia meninggalkan lokasi perambahan dan tidak kembali lagi melakukan perambahan.
Disamping itu, dilakukannya pembinaan terhadap masyarakat adalah untuk menghindari terjadinya perambahan kembali pada kawasan hutan. Pembinaan ini dilakukan dengan penyuluhan bina desa, pembangunan hutan kemasyarakatan (sosialisasi hutan), penanaman bambu batas luar, dan rehabilitasi dan konservasi.
Dalam upaya menyelamatkan kawasan hutan dari kegiatan perambahan oleh masyarakat, melalui koordinasi dengan instansi-instansi serta pihak-pihak terkait telah melakukan upaya-upaya baik preventif maupun represif. Upaya-upaya yang dilakukan berupa pengusiran para perambah keluar dari kawasan hutan, serta penindakan perambah melalui proses hukum.