Pagi itu, jarum jam sudah menunjuk angka enam. Sedikit bergegas, kami mulai berkemas: kamera, baterai cadangan, binokuler dan sebotol air sudah memenuhi ransel. Berjalan kaki selama hampir 45 menit, menyusuri pantai timur Pulau Karimunjawa, sampailah kami di sebuah teluk. Deretan hutan mangrove menjadi penanda perjalanan kami akan berakhir. Hembusan angin musim timur mengiringi langkah kami ke Dusun Legon Lele.
Dari jauh nampak segerombolan monyet turun dari pohon kelapa, beberapa masih bersembunyi, seperti barisan tentara mengintai lawan. “Krra, krra, krra, krra!” Suara dari Macaca itu untuk mendeteksi keberadaan kelompoknya.
Kehadiran kami bukan ancaman bagi mereka. Sambutan yang menggembirakan, bisik kami dalam hati. Di hadapan kami, Macaca fascicularis karimondjawae, berjarak hanya 300 meter dari tempat kami berdiri. Perlahan, kami menyiapkan kursi lipat hitam, binokuler dan tripod menjadi
alat bantu mengamati satu-satunya primate penghuni pulau ini.
Satwa yang sedang menyantap buah kelapa itu satu dari empat subspesies yang hidup di pulau-pulau kecil di Indonesia. Tiga lainnya: Macaca fascicularis fuscus
hidup di Pulau Simeulue, Sumatera; Macaca fascicularis lasiae di Pulau Lasia, Sumatera; dan Macaca fascicularis tua di Pulau Maratua, Kalimantan.
Macaca fascicularis, monyet! asli! Asia Tenggara, tersebar di berbagai tempat di Asia: Semenanjung Myanmar, Thailand, Malaysia, Indocina bagian selatan, Filipina, Sumatera, Jawa dan Kalimantan.
Monyet ini termasuk hewan liar yang mampu mengikuti perkembangan peradaban manusia.
Macaca secara umum masih aman, bukan termasuk satwa yang dilindungi. Namun, lantaran perburuan yang terus terjadi, pemanfaatan Macaca fascicularis diatur dalam keputusan Menteri Kehutanan No. 26/1994. Monyet jantan memiliki panjang tubuh antara 385-648 mm dengan berat 3,5 – 8 kg, sedangkan betina 400-655 mm dengan berat 3 kg. Warna tubuh bervariasi: mulai dari abu-abu sampai kecoklatan, dengan bagian ventral berwarna putih. Hidungnya datar dengan ujung hidung menyempit.
Anak Macaca yang baru lahir berambut kehitaman. Ekor yang melebihi panjang tubuh bermanfaat bagi monyet ekor panjang untuk menjaga keseimbangan saat beraktivitas di cabang kecil. Ciri khas monyet ras karimondjawae terdapat pada bagian atas kepala yang nampak seperti jambul.
Pulau Karimunjawa, dengan ketinggian 506 meter di atas permukaan laut, menjadi habitat yang sesuai bagi primata ini. Hutan sekunder dengan tanaman Uyah-uyahan (Chionanthus rami!orus), Jambon lapis (Sizygium pycnatum), Jambon pletik (Sizygium syzygioedes) menjadi sumber pakan bagi monyet pemakan segala (omnivora) ini.
Komposisi pakan monyet: 60 persen buah-buahan, dan selebihnya berupa bunga, daun muda, biji, umbi.
Monyet ekor panjang terkadang turun sampai ke formasi mangrove yang berbatasan langsung dengan hutan hujan tropis di Taman Nasional Karimunjawa. Selain di Legon Lele, penduduk sekitar kawasan sering menjumpai si monyet di Kemloko, Legon Boyo, Cikmas, dan Nyamplungan.
Sebaran satwa yang masih berkerabat dengan beruk mentawai dan monyet hitam sulawesi ini dapat juga dijumpai pada formasi mangrove di Legon Jelamun, Pulau Kemujan. Monyet yang hidup di daerah bakau terkadang memakan kepiting atau jenis moluska lain. Tak mengherankan, beberapa peneliti menyebutnya dengan macaca pemakan kepiting—crabs eating
macaque.
Primata ini hidup berkelompok dengan jumlah individu berbeda di setiap kelompok. Pada hutan bakau umumnya berjumlah 10-20, sedangkan pada hutan primer bisa mencapai 20 – 30 ekor. Di Karimunjawa lebih sering dijumpai kelompok kecil, 10 – 20 ekor.
Besar kecilnya kelompok tergantung pada ada tidaknya sumber pakan yang tersedia di alam. Penggabungan kelompok dapat terjadi bila jumlah pakan yang tersedia lebih dari cukup. Perkiraan populasi monyet ekor panjang dalam kawasan dengan luas 1.285,5 hektare ini mencapai 267 ekor.
Monyet ekor panjang dapat bertahan hidup selama 37 tahun dengan masa hamil antara 160-170 hari.