Sudah
seminggu saya harus mengabdikan diri untuk istri dan calon anak saya tercinta.
Setalah berpetualang bekerja di luar daerah. Yaapp,,, Aku harus meninggalkan antrian "SPT" di negeri antah brantah, nilai rejeki dikaruniainya anak tak ternilai oleh DIPA instansi manapun. Saatnya minggu-minggu ini saya harus menjadi bak tentara perang yang siap kapan saja
jika ada perintah secepatnya ataukah saya harus menjadi tukang pos ekspres yang
mengantarkan ke rumah sakit kapan saja dan dimana saja secepatnya ataukah saya
harus jadi satpam untuk berjaga-jaga jika kemungkinan terburuk terjadi.
Seperti gaungan pemerintah kita yang baru saja menaikkan harga bahan bakar minyak dengan alasan utama karena subsidi yang tidak tepat sasaran dan anjloknya nilai inflasi dunia, program SIAGA (siap, antar, jaga) tapi saya kan bukan pramuka yang setau saya tingkatan siaga itu untuk anak SMP, saya sudah lumayan tua ditandai dengan parameter tinggal beberapa minggu lagi akan ada yang memanggil saya dengan sebutan ayah :(
Seperti gaungan pemerintah kita yang baru saja menaikkan harga bahan bakar minyak dengan alasan utama karena subsidi yang tidak tepat sasaran dan anjloknya nilai inflasi dunia, program SIAGA (siap, antar, jaga) tapi saya kan bukan pramuka yang setau saya tingkatan siaga itu untuk anak SMP, saya sudah lumayan tua ditandai dengan parameter tinggal beberapa minggu lagi akan ada yang memanggil saya dengan sebutan ayah :(
Saya
teringat akan seorang yang bernama Richard Nixon merupakan wakil presiden
Amerika Serikat dan hingga menjabat sebagai Presiden AS. Jelas nasibnya tak
semulus Jusuf Kalla. Konon dalam sambutannya menyebutkan "ayah adalah orang yang hebat" Disela-sela redupnya cahaya lampu kamar rumah mertua dan suara bising kenderaan
yang melintas jalan utama Bogor-Jakarta serta bercampur suara gemuruh pabrik, saya
kemudian merenungkan bahwa benar kata beliau serta memantau posisi tidur istri saya karena menurut dokter posisi terbaik saat ibu hamil tidur adalah miring ke kanan. Agak subyektif mungkin tapi luar
biasa proses untuk menjadi seorang ayah itu. Dibutuhkan komitmen dan tanggung
jawab besar untuk melakukannya. Masalahnya tidak ada ilmu di sekolah atau
universitas manapun untuk menjadi ayah.
Sebagai suami, saya tetap perlu memiliki peta yang jelas, seperti apa nantinya keputusan-keputusan terbaik yang akan saya dan istri laksanakan. Bukan bersembunyi dibalik ungkapan "Tuhan tau yang terbaik buat hambanya". Jika tidak, saya dan istri kelak akan hanya berjalan melingkar mengikuti ritme hidup dan rutinitas yang mekanistik.
Saya sadar, bahwa menjadi ayah bukan tradisi dari nenek moyang atau sekedar mengubah status sosial. Menjadi seorang ayah idaman dan hebat atau tidak di masyarakat bukanlah soal buat saya. Saya hanya ingin menjadi pahlawan yang melindungi, memberi rasa aman dan terbaik buat anak istri saya. Walau dunia tidak mengenal siapa saya, setidaknya saya selalu siaga dan segalanya buat mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar