Pulau Ringgit, 10 April 2012 - 23.21 diposting melalui smartphoneku
Kawah Gunung Colo |
Kemarin tepat tanggal 6 April aku dan mas wawan menaklukkan 3 gunung berapi di pulau ini. Yaitu gunung sakora, gunung ambi dan gunung colo. Luar biasa pengalaman yang kami dapatkan mulai dari perjalanan yang setealh aku perhatikan di alat GPS ternyata sejauh 17,97 km jalan kaki, menuruni tebing yang curam dibawah jurang secara penglihatan tertutup oleh daun pakis hingga hal-hal mistis dari gunung tersebut yang aku tak bisa jelaskan secara mendetail melalui coretan ini. Luar biasa pengalaman yang kami dapat yang berakhir pada rekor baru dalam perjalanan petualanganku menaklukkan tiga gunung dalam sehari penuh.
Perjalanan kami berawal dari dusun una-una stap dengan menggunakan kederaan bermotor berupa sepeda motor kami menelusuri pinggiran pantai layaknya pembalap trail dengan kondisi lumpur, melewati jembatan pohon kelapa dan naik turun bukit. Seruu... Sesampai disungai besar sepeda motor kami tak mampu melanjutkan perjalanan yang memaksa kami dan tim terdiri dari mas wawan, si feri (pamhut) dan raden (penunjuk jalan) harus berjalan kaki.
Perjalanan kami dimulai dengan menelusuri sungai besar. Subhannallah... Maha besar Allah... Luar biasa alam... Dan begitu kecilnya manusia ketika itu dalam benakku. Bekas letusan gunung Colo tahun 1983 masih saja meninggalkan bekas mulai dari tekstur tanah hingga ketinggian tebing serta kedalaman jurang yang kami tempuh membuat kesimpulan dikepalaku bahwa manusia sungguh tak berdaya. Yaa... Kami kecil!
Sesampai dipuncak hal paling menegangkan selama pengembaraanku menelusuri gunung adalah ketika kami harus melewati tebing yang dibawah jurang tetapi untungnya secara psikologis tak membuat kami takut karena tertutup oleh semak pakis-pakisan yang menghalangi dasar jurang. Ketika itu kami melintasi tebing tanpa alat sedikitpun, hanya mengandalkan keterampilan sebagai manusia biasa yang minim pengalaman. Sampai-sampai ketika itu aku dan mas wawan gemeteran saking gugupnya harus melintasi tebing itu. Setelah kami sanggup melalui tebing, kami pun melanjutkan perjalanan. Perjalanan beberapa meter kedepan dan kami harus menuruni jurang dengan ketinggian kurang lebih cuma 10 meter. Aku sebagai ketua tim langsung memutuskan untuk beristirahat sebentar berhubung perut kami sudah keroncongan makanya harus makan dengan bekal yang kami bawa. Makanan pada saat itu setiap orang tidak memakannya sampai habis tetapi disisakan sedikit untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk yaitu harus bermalam di gunung itu.
Si Feri pamhut kami yang "masih" rajin karena baru saja diangkat sebagai "honorer" di Taman Nasional mengambil inisiatif menebang kayu besar untuk dijadikan tangga menuruni jurang tersebut. Dan idenya ternyata cemerlang. Ketika itu layaknya seorang peserta diklat polhut di Lido kami melakukan gaya "flaying fox" bukan menggunakan tali tapi kali ini menggunakan kayu yang berujung pada kemaluan aku yang sakit karena gesekan. Akhirnya kami berhasil menuruni jurang tersebut dengan kemiringan 90 derajat. Perjalananpun dilanjutkan dan beberapa meter kedepan kami mendapatkan jurang yang lebih curam lagi hingga memutuskan kami untuk kembali dan berbalik arah.
Sementara kondisi kami yang mulai "drop" kami harus menemukan jalan keluar dari puncak gunung ambu tersebut. Kami menenangkan diri tepat dipuncak gunung yang dimana kiri kanan kami adalah jurang. Tempat kami berisitirahat adalah puncak, dengan lebar jalan setelapak kaki kami hingga bergerak sedikit menyebabkan kami jatuh mengelinding ibarat bola, sudah seperti itu semutpun mengerumuni kaki kaki kami. Luar biasa...
Menghabiskan rokok beberapa batang kamipun melanjutkan perjalanan hingga mendapatkan jalan keluar yang lumayan terjal saat itu sendal gunung yang aku gunakan putus memaksaku jalan dengan kaki tidak normal. Dalam benakku saat itu menyerah karena kondisi alam dan kondisi badan yang sudah tidak stabil, kepala semakin pusing mungkin karena kekurangan oksigen dan kaki yang sudah lecet. Sama seperti mas wawan. Ingin menyerah saja. Dengan terpingkal pingkal akhirnya kami bisa turun dan mendapatkan sungai dibawah, saat itu terjadi penyesalan karena kami salah arah. Danau gunung colo ternyata berada dikaki gunung sebelah. Semakin droplah kami semua. Sudah hampir sore, aku memutuskan agar tim pulang karena berhubung perlengkapan kami kurang memadai untuk melakukan pendakian malam. Sesampai ditepi sungai kami balik arah pulang dan sekitar jam 6 sore kami tiba dititik koordinat awal tempat dimana motor kami diparkir. Sungguh luar biasa....
Besok pagi kami berencana pulang ke Wakai dengan menumpang kapal penumpang pukul 7 hari rabu 11 April 2012. Ditemani suara ombak terdengar disini, dilantai 2 penginapan masyarakat yang kami tinggali membuat sebenarnya seseorang bisa tidur lelap dengan kondisi badan yang pegal-pegal karena pendakian kemarin tetapi tidak pada diriku. Aku hanya menginggat istriku yang jauh di Sumatera sana sembari membuat tulisan ini di smartphone yang aku miliki tanpa sinyal sedikitpun. Aku merindukannya dari Pulau ini. Una-una Island... Pulau yang kaya dengan hasil alamnya.
Sesampai dipuncak hal paling menegangkan selama pengembaraanku menelusuri gunung adalah ketika kami harus melewati tebing yang dibawah jurang tetapi untungnya secara psikologis tak membuat kami takut karena tertutup oleh semak pakis-pakisan yang menghalangi dasar jurang. Ketika itu kami melintasi tebing tanpa alat sedikitpun, hanya mengandalkan keterampilan sebagai manusia biasa yang minim pengalaman. Sampai-sampai ketika itu aku dan mas wawan gemeteran saking gugupnya harus melintasi tebing itu. Setelah kami sanggup melalui tebing, kami pun melanjutkan perjalanan. Perjalanan beberapa meter kedepan dan kami harus menuruni jurang dengan ketinggian kurang lebih cuma 10 meter. Aku sebagai ketua tim langsung memutuskan untuk beristirahat sebentar berhubung perut kami sudah keroncongan makanya harus makan dengan bekal yang kami bawa. Makanan pada saat itu setiap orang tidak memakannya sampai habis tetapi disisakan sedikit untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk yaitu harus bermalam di gunung itu.
Si Feri pamhut kami yang "masih" rajin karena baru saja diangkat sebagai "honorer" di Taman Nasional mengambil inisiatif menebang kayu besar untuk dijadikan tangga menuruni jurang tersebut. Dan idenya ternyata cemerlang. Ketika itu layaknya seorang peserta diklat polhut di Lido kami melakukan gaya "flaying fox" bukan menggunakan tali tapi kali ini menggunakan kayu yang berujung pada kemaluan aku yang sakit karena gesekan. Akhirnya kami berhasil menuruni jurang tersebut dengan kemiringan 90 derajat. Perjalananpun dilanjutkan dan beberapa meter kedepan kami mendapatkan jurang yang lebih curam lagi hingga memutuskan kami untuk kembali dan berbalik arah.
Sementara kondisi kami yang mulai "drop" kami harus menemukan jalan keluar dari puncak gunung ambu tersebut. Kami menenangkan diri tepat dipuncak gunung yang dimana kiri kanan kami adalah jurang. Tempat kami berisitirahat adalah puncak, dengan lebar jalan setelapak kaki kami hingga bergerak sedikit menyebabkan kami jatuh mengelinding ibarat bola, sudah seperti itu semutpun mengerumuni kaki kaki kami. Luar biasa...
Menghabiskan rokok beberapa batang kamipun melanjutkan perjalanan hingga mendapatkan jalan keluar yang lumayan terjal saat itu sendal gunung yang aku gunakan putus memaksaku jalan dengan kaki tidak normal. Dalam benakku saat itu menyerah karena kondisi alam dan kondisi badan yang sudah tidak stabil, kepala semakin pusing mungkin karena kekurangan oksigen dan kaki yang sudah lecet. Sama seperti mas wawan. Ingin menyerah saja. Dengan terpingkal pingkal akhirnya kami bisa turun dan mendapatkan sungai dibawah, saat itu terjadi penyesalan karena kami salah arah. Danau gunung colo ternyata berada dikaki gunung sebelah. Semakin droplah kami semua. Sudah hampir sore, aku memutuskan agar tim pulang karena berhubung perlengkapan kami kurang memadai untuk melakukan pendakian malam. Sesampai ditepi sungai kami balik arah pulang dan sekitar jam 6 sore kami tiba dititik koordinat awal tempat dimana motor kami diparkir. Sungguh luar biasa....
Besok pagi kami berencana pulang ke Wakai dengan menumpang kapal penumpang pukul 7 hari rabu 11 April 2012. Ditemani suara ombak terdengar disini, dilantai 2 penginapan masyarakat yang kami tinggali membuat sebenarnya seseorang bisa tidur lelap dengan kondisi badan yang pegal-pegal karena pendakian kemarin tetapi tidak pada diriku. Aku hanya menginggat istriku yang jauh di Sumatera sana sembari membuat tulisan ini di smartphone yang aku miliki tanpa sinyal sedikitpun. Aku merindukannya dari Pulau ini. Una-una Island... Pulau yang kaya dengan hasil alamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar