08/08/11

Mengutip dari tulisan Dr. Patrick Moore (pendiri Greenpeace)

Masing-masing orang mempunyai pendapat yang berbeda dalam mengemukakan apa saja bentuk isu-isu kehutanan yang berkembang dimasyarakat. Mulai dari isu pengelolaan hutan lestari, kemiskinan, kebijakan kehutanan setelah otonomi daerah, konflik tenurial, sistem administrasi tata usaha kayu, tumpang tindih regulasi dan kebijakan kehutanan pemerintahan pusat dan daerah, hingga isu global warming atau pemanasan global yang hampir selalu menjadi buah pembicaraan kalangan masyarakat dunia.

Mengutip dari tulisan Dr. Patrick Moore, salah satu pendiri Greenpeace yang menyatakan bahwa … pohon adalah jawaban terhadap banyak pertanyaan mengenai masa depan kita : Bagaimana kita dapat memajukan ekonomi yang lebih lestari berbasis pada bahan-bahan dan bahan bakar yang dapat diperbaharui? Bagaimana kita dapat memperbaiki kemampuan ‘baca’ dan sanitasi di negara-negara berkembang sambil memulihkan kerusakan hutan dan menjaga margasatwa pada waktu bersamaan? Bagaimana kita dapat mengurangi jumlah emisi gas rumah kaca di atmosfer terutama CO2? Bagaimana kita dapat meningkatkan jumlah lahan yang akan mendukung semakin banyak spesies keragaman hayati? Bagaimana kita dapat membuat dunia ini lebih indah dan hijau? Jawabannya adalah dengan menanam lebih banyak pohon dan kemudian menggunakan lebih banyak kayu…

Lebih lanjut Patrick Moore menyatakan dalam hubungannya dengan perubahan iklim, kita harus menggunakan lebih banyak kayu, bukan mengurangi. Dinegara-negara tropis sedang berkembang yang mayoritas penghasilan penduduknya rendah, masih banyak orang yang menggunakan kayu sebagai sumber energi. Walaupun saat ini pengalihan bahan bakar kayu ke bahan bakar subtitusi sedang digalakkan, namun hal ini perlu ditelaah lebih lanjut. Bukankah bahan bakar subtitusi (non-renewable) yang sering digunakan itu contohnya adalah batu bara, minyak bumi dan gas alam? Selain itu juga saat ini semakin dikenal penggunaan bahan bangunan non-kayu seperti besi, semen dan plastik, bukankah untuk memperoleh bahan-bahan tersebut juga membutuhkan bahan bakar fosil dalam jumlah besar? Semua itu pada akhirnya akan meningkatkan kapasitas (emisi) CO2 di bumi dan memperluas pembukaan lahan untuk memproduksi sumber energi subtitusi non-renewable. Ini jelas-jelas bertentangan dengan Konvensi Perubahan Iklim Internasional.

Para aktivis lingkungan (contoh : LSM “X”) pernah berbicara tentang moratorium sebagai solusi untuk mengembalikan kelestarian hutan. Moratorium mereka artikan sebagai jeda tebang hutan atau kegiatan penghentian penebangan kayu yang bersifat sementara dan dalam skala besar (skala industri) sampai kondisi hutan yang diinginkan tercapai. Dalam artian, kegiatan moratorium tidak mempersilahkan dilakukannya penebangan kayu pada satu kawasan hutan dalam bentuk apapun sampai kondisi hutan kembali dalam bentuk semula, waktu yang sering dinyatakan dalam konsep ‘mereka’ bisa mencapai 15 tahun. Nah, melihat pernyataan ini, sebagai rimbawan tentunya kita harus menyeleksi kebenarannya. Masa depan manusia tidak akan bisa lepas dari kayu, apapun itu bentuknya. Sekolah-sekolah butuh buku pelajaran yang terbuat dari kertas, bahan kertas adalah kayu. Manusia meninggal butuh kayu untuk peti matinya, tidak mungkin peti mati terbuat dari besi bukan? Sungguh suatu konsep yang salah.

Konsep moratorium dalam ilmu kehutanan yang ‘real’ memang diartikan sebagai jeda tebang sementara yang diberlakukan pada satu kawasan hutan. Namun moratorium yang dinyatakan oleh LSM “X” tersebut bercermin kepada konsep moratorium yang berasal dari negara asalnya, yaitu Costarica yang memiliki luasan hutan yang relatif kecil dan penebangan yang dilakukan tidak berdasarkan umur daur. Sementara moratorium yang sebenarnya di Indonesia adalah penghentian tebangan untuk suatu kawasan hutan yang sudah dibagi kedalam petak-petak tebang, dimana siklusnya sesuai dengan umur daur (misalnya umur daur 35 tahun). Pada saat mencapai masa tebang, dilakukan penebangan kayu pada petak 1, tahun berikutnya penebangan dilakukan di petak 2, hal ini berlaku seterusnya untuk tahun-tahun berikutnya sampai 35 tahun. Sehingga penebangan kembali pada petak 1 akan dilakukan pada tahun ke-36 saat kondisi hutan kembali seperti semula seperti yang mahasiswa manajemen kehutanan pelajari dibangku kuliah. Dalam hal ini, setiap dilakukan penebangan tentu saja harus diimbangi dengan kegiatan penanaman kembali pada petak yang telah ditebang, inilah yang disebut praktik pengelolaan hutan lestari. Sejalan dengan konsep Patrick Moore bahwa penanaman pohon HARUS seimbang dengan penggunaan kayu.

Ilmu kehutanan harus mampu bersosialisasi dengan ilmu-ilmu lain, disitulah peranan rimbawan dibutuhkan. Rimbawan harus diberikan peran yang semestinya dan harus semakin bijak dalam menyikapi isu-isu kehutanan yang sedang berkembang, mengutamakan logika dan fakta yang telah diketahui kebenarannya lebih lanjut. Saatnya para rimbawan mengetahui fakta-fakta yang seimbang dengan kebenaran konsep realnya. Berpedoman pada sebuah konsep toh sah-sah saja, hanya harus pandai menyikapi kemungkinan adanya ‘hidden agenda‘ dibaliknya. Para rimbawan, keep in touch

Tidak ada komentar: